Seorang gadis cantik
melonjak berdiri dari kursinya dan bertepuk tangan keras-keras. Matanya menatap
lurus kepanggung sambil tersenyum. Hatinya begitu senang mendengar nama Band The Junkist disebut sebagai juara pertama lomba tahunan Festival
seni SMA Nusa Bangsa.
Dengan satu gerakan sigap, Sasha mengambil kamera
paraloidnya dan mengabadikan foto mereka tepat pada penyerahan piala. Tak
sia-sia usahanya sebagai
manajer,mengatur jadwal latihan mereka.
Para personil yang turun dari panggung, mendapat banyak
ucapan selamat dari kerumunan fans mereka. Cepat-Cepat Sasha melangkah dan
berjalan keluar dari barisan tempat duduk penonton.
“Ciee selamat ya yang menang. Jadi kita makan-makan
dimana?” Ucap Sasha sekaligus mengoda mereka satu-satu.
“Gue ikut lo orang aja deh. Nanti kabarin gue mau kemana.
Gue cabut ke mobil duluan ya.” Kata Ray, Si vokalis sekaligus ketua Band. Ray
pun pergi meninggalkan mereka.
***
Mobil Avanza hitam itu berhenti tepat di depan sekolah.
Ray, membuka laci dimobilnya mencari sesuatu. Jari-jarinya yang lincah
cepat-cepat mengambil sesuatu itu.
Bingkai Foto dengan hiasan santa Claus besar disisi sebelah kanan
bingkai dengan ukiran salju putih di semua sisinya membuat bingkai tersebut
sangat indah. Ray menatap foto yang berada dalam bingkai itu dalam-dalam.
Tampak dua sosok anak kecil yang sedang tersenyum sambil berpegangan
tangan. Dengan jemarinya, ia menyentuh
foto itu dan mengelusnya lembut. Air mukanya perlahan berubah.
Hei, Reina, apa
kabar kamu disana? Baik-baik saja, bukan?” Ucapnya lirih. “Aku juga baik-baik saja disini. Aku masih disini, merindukanmu.
Mendadak tubuhnya begitu lemas. Ia menyandarkan tubuhnya ke
kursi mobilnya. Mata bulatnya terpejam.
Rei,sudah sepuluh tahun
sejak peristiwa itu berlalu, aku selalu menantimu. Dan ini sudah natal yang ke
sepuluh. Hari ini aku menepati janjiku lagi, meraih mimpiku sebagai vokalis
band tanpa kehilangan harapan sedikitpun.
Bagaimana denganmu?
Masih ingatkah kamu dengan janji
natal yang kau ucapkan ? Kapan kau akan menepatinya? Kapanpun itu, aku akan
terus menunggumu disini.
Pintu mobil yang tidak terkunci dari dalam itu terbuka.
Sasha tiba-tiba duduk disampingnya. Ray tersentak karena kehadiran cewek itu,
Ia cepat-cepat memasukan benda yang ia pegang tadi kedalam tempat asalnya.
“Reina lagi?Ya ampun, Ray. Ini udah sepuluh tahun Reina
gak balik. Lo masih belum lupa sama dia?” Kata Sasha kemudian.
“Reina pasti balik kok.
Ray hanya mengangguk tanda setuju. Mobil Avanza itupun
melaju.
“Sha, Lo kenapa?”
“Gue gak apa-apa kok. Jalan aja nanti telat loh.” Ucapnya
perlahan. Nadanya sangat lemas. Ray tahu persis cewek yang disampingnya ini merasakan
serangan sakit yang sangat hebat.
“Kita kerumah sakit ya? Jangan-jangan penyakit lo kambuh
lagi.” Ray segera memutarkan mobilnya. Sasha tidak menjawab apa-apa. Ia sangat
lemas. Kepalanya terasa makin berat sekarang. Matanya yang bulat kian menyipit
dan terpejam. Semua pandangannya menjadi buram. Beberapa detik kemudian
semuanya benar-benar gelap.
***
Ray
berlari masuk kerumah sakit meminta bantuan perawat membawa Sasha yang sudah
terbaring tak sadarkan diri dimobilnya.Akhirnya Sasha dibawa oleh dua perawat
pria menuju keruangan pasien.Sasha, terbaring belum sadarkan diri di kamar
rawatnya.
Ray
menunggu diruang tunggu. Ia gelisah. Cowok itu tidak tahu harus berbuat apa.
Seorang cewek tiba-tiba duduk disampingnya sambil sedikit bersenandung kecil.
Lagu natal. “Jinggle Bell.” Lagu itu membuatnya menoleh kearah cewek itu. Ditatapnya
cewek itu baik-baik. Setelah diperhatikan, Ray mengambil satu kesimpulan bahwa
cewek itu ternyata adalah seorang tunanetra. Ray masih belum jemu memandang
cewek itu. Wajah cewek itu mengingatkannya ada seseorang.
Reina. Katanya
seketika melihat bandul yang mengantung di leher gadis itu. Bandul itu
berbentuk Santa Claus putih dengan hiasan permata kecil.
Cewek itupun menoleh, mendengar namanya disebut. “Gue
Ray. Alexander Ray. Lo Reina kan? Reina Natalie? Gue yakin lo Reina.”
Cewek itu tersentak kaget mendengar namanya disebut. Ia
tidak dapat mengenali suara orang disebelahnya itu, tapi entah kenapa hatinya
langsung bergetar mendengar suara orang itu menyebut namanya.
“Lo pasti Reina kan? Anaknya Om Rudi Harjono? Gue Ray.”
Ray masih terus melanjutkan kata-katanya tanpa berhenti, sementara Reina hanya
terdiam. Cewek itu perlahan mencoba menjauh, meraba-raba jalan dengan
tangannya. Ray masih mencegatnya. Tidak ada yang bisa dilakukan cewek itu,
selain berkata “Tidak” dan terus menyangkal bahwa dirinya bukan Reina. Namun
keyakinan hati Ray membuat air matanya menetes. Cewek itu terisak. Tenggelam
dalam tangisan lukanya.
Ray melihat Reina jatuh berlutut dihadapannya sambil
menangis tersedu-sedu. Perlahan ia berjongkok dan memeluk Reina yang gak
berhenti nangis. “Gue Cuma mau lo jujur. Lo Reina kan? Reina yang selama ini
gue cari. Reina yang ninggalin gue dengan janjinya? Orang yang gue
tunggu-tunggu selama sepuluh tahun. Sekarang lo mau bohongin gue kalau, lo
bukan Reina? Sayangnya gak bisa, Rei...”
Cewek itu terdiam. Perlahan, ia mulai membuka suaranya
yang dari tadi tidak terdengar. “Maaf, Ray. Gue gak maksud bohongin lo. Gue gak
bermaksud buat ngingkari semua janji-janji gue waktu itu. Gue juga selalu
nungguin waktu Natal yang tepat. Tapi keadaan yang buat gue gak pernah bisa
nemuin kapan Natal itu akan menjadi tepat. Gue gak bisa ketemu lo aja gue gak
pantes. Lo liat gue sekarang, gue Cuma cewek buta anak angkatnya dokter Irwan.
Tepat sepuluh tahun yanng lalu, kecelakaan itu merampas semua milik gue. Papa,
mama, Penglihatan gue, dan juga harapan gue buat nepatin janji gue ke lo. Maaf
Ray.”
Reina benar, dia sekarang sudah buta. Tapi apa Ray
peduli? Tidak. Ray sama sekali tidak peduli dengan itu. Baginya melihat cewek
ini saja sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Ia sudah dapat mengeluarkan
rindunya yang telah terkubur dalam hatinya. Ray tetap memeluknya begitu erat,
seakan ia tidak mau kehilangan cewek didepannya lagi.
“Gue tahu pasti dengan keadaan gue yang begini, lo gak
mungkin mau ketemu sama gue.”
Reina salah. Mau seperti apapun kondisinya, Hati Ray
tetap mencintainya sebagai sosok Reina dulu. Dan tidak ada yang berubah dari
perasaannya kepada cewek itu. Sungguh
Ray mencintainya.
Di tengah pertemuan rindu kedua insan. Dokter keluar dari
kamar Sasha. Beliau menyatakan keadaan Sasha sudah membaik, ternyata cewek itu
terkena anemia fertigo kronis. Sasha
memang sering sakit kalau sudah kelelahan. Ray menyeka sisa-sisa air mata Reina
yang menempel dipipinya.
Cowok
itu membawa Reina masuk. Ia memperkenalkannya kepada Sasha dan menceritakannya.
Mulai dari pertama kali ia bertemu sampai sekarang. Sementara Sasha hanya
berdiam diri menikmati kebisuanya. Tenggorokannya tercekat, dan tidak mampu
mengeluarkan satu katapun.
Sasha
melihat sesuatu yang sudah lama tak ia lihat, senyum Ray yang penuh
kebahagiaan. Satu-satunya hal yang Sasha rindukan. Kalau saja Ray tahu. Kalau
saja Hati Ray bisa merasakannya. Saat ini Sasha sedang menangis bahagia.
Bahagia melihat orang yang disayanginya bisa tertawa bahagia lagi, walaupun itu
semata karena kehadiran Reina.
***
Sudah
beberapa hari ini Ray jadi sering kerumah sakit hanya untuk bertemu dengan
Reina. Sekalian mengecek kondisi Sasha yang semakin membaik. Sasha terus
mengamati Ray yang duduk disamping Reina. Ray memeluk Reina dengan lembut dan
menyentuh rambut cewek itu.
Hati
Sasha seperti terisis-iris melihat semuanya. Ia hanya mencoba menahan semua
perasaannya. Apa yang harus ia lakukan? Sekencang apapun hatinya meronta, Ray
tidak akan pernah mendengarnya.
“Ray,
lo udah jadian sama Reina ya?” Tanya Sasha dengan nada sumbang
“Belum.
Rencananya gue mau nembak dia besok. Gue udah siapin segalanya. Lo tahu gak,
Sha. Gue seneng banget bisa. Semingguan ini hidup gue kembali lagi. Okoknya
kalau gue jadian sama Reina, lo orang pertama yang gue traktir.” Ray tersenyum.
Sasha
membalas senyum Ray. Ia menguatkan hatinya yang mencelos untuk dapat tersenyum,
menutupi luka yang ia rasakan. Cinta memang tak bisa dipaksakan. Sasha tahu
persis hal itu. Dan sekarang yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa semoga besok
menjadi hari terindah buat Ray juga Reina.
Motor
hitam Duccati itu melaju kencang. Seseorang yang sedang terburu- buru membawanya
melebihi kecepatan yang seharusnya. Dan saat yang bersamaan pula, sebuah mobil
truk berkecepatan yang sama tingginya melaju tepat dari arah depan motor itu.
BRUKKK!!!
Kecelakaan
maut pun terjadi. Cowok yang mengendarai motor itu terlempar jauh dari
motornya. Tubuh cowok itu bergesekan langsung dengan aspal, begitu pula kepalanya.
Darah merah sewarna dengan mawar yang jatuh berserakan mengalir deras membasahi
aspal. Ditengah sisa-sisa kekuatannya, cowok itu berusaha meraih cincin
berhiaskan permata putih kecil yang
membentuk tanda love. Dan seketika tangannya menyentuh cincin itu, tenaganya
pun habis.
“
Reinaa!” Dokter Irwan berteriak memanggil Reina yang sedang asyik duduk
ditaman seperti menunggu seseorang.
‘Iya,
pa?” Tanya segera menghampiri papanya. Ia berjalan menggunakan tongkatnya.
“Ray...
Ray sekarang ada di UGD dan dia dalam keadaan sekarat..”
“APA??
GAK MUNGKIN!!!”
***
Hari
ini hujan. Ray meninggal. Untuk kedua kalinya cewek itu berada ditempat ini,
tempat yang menyadarkan dirinya bahwa orang yang disayanginya sudah tidak lagi ada. Ia membiarkan air matanya tumpah
ditengah derasnya hujan. Saat itu juga alam semesta seperti mersakan luka
dihati Reina. Luka yang menganga lebar di hatinya. Seluruh hatinya seakan ikut
terkubur bersama sosok cowok itu. Miris. Itu satu-satunya kata yang tepat untuk
menggambarkan hidupnya. Mengapa begitu cepat Tuhan mempertemukan dia dan
merampasnya kembali? Bahkan ia belum sempat melihat wajah Ray dari awal
pertemmuannya sampai ia sekarat di ruang
UGD. Yang ia hanya bisa lakukan hanya menangis dan merasakan dokter yang
berjuang membuat mata Ray terbuka kembali dan nafas Ray berhembus lagi, tanpa
bisa melihat atau masuk kedalamnya. Sungguh tak berguna. Kenapa Tuhan tak mengijinkannya menemani Ray di saat Ray berjuang
melawan rasa sakitnya? Kenapa Tuhan
begitu kejam padanya? Kenapa?? Berulang kali ia meruntuki dirinya sendiri
dan menghujam Tuhan-nya.
Ketika
itu ia melihat ukiran nama Ray di batu nisan, ia tersadar. Ini bukan salah
Tuhan. Ini takdir. Semua orang ditakdirkan merasakan cinta, namun tidak semuanya
dapat memiliki keindahan dari akhir cinta tersebut.
7
hari kemudian..
“Rei,
ini ada sesuatu dari dokter Ridwan yang merawat Ray. Katanya Ray menyuruh
Dokter Ridwan menuliskan surat ini untukmu. Hingga surat dan sesuatu yang
dikotak itu diberikan olehnya, perjuangannya berhenti, ia menghembuskan
nafasnya untuk yang terakhir kali .”
Dokter Irwan kemudian beranjak meninggalkan anaknya sendirian didalam
kamarnya. Ia tahu persis apa yang dirasakan Reina. Kehilangan seseorang yang disayang
memang menyakitkan.
Reina
membuka lipatan surat itu perlahan-lahan. Reina membacanya.
Sewaktu kamu negbaca surat ini, aku
yakin kamu sudah bisa melihat. Sebenarnya aku mau jadi orang pertama yang bisa
kamu liat. Maaf .. karena aku harus pergi meninggalkanmu. Maaf karena aku udah
gak bisa jagain kamu lagi. Terima kasih buat Natalnya. Terima kasih karena kamu
telah memberikan kebahagiaan dalam hidupku. Satu hal yang perlu kamu tahu, Rei.
Mungkin ini sudah terlambat, tapi gue harus bilang ke lo. “Aku sayang banget
sama kamu, Rei.”Dari dulu,bahkan sampai sekarang perasaan itu gak berubah
sedikitpun. At least my heart promise to love you forever.
Oh iya, satu hal lagi, jangan sedih
ya. Janji sama aku, jangan pernah kehilangan harapan. Aku ngak akan
kemana-mana.. Aku selalu ada bersamamu karena sekarang salah satu bagian dari
tubuh aku ada bersama kamu. Aku kasih mata ini buat nunjukin ke kamu kalau
dunia ini indah, Rei. Aku gak mau lihat kamu seperti kehilangan harapan kamu
semenjak kecelakaan itu. Kecelakaan itu gak ngambil segalanya, Rei. Lihat Aku.
Aku masih cinta sama kamu. Kecelakaan itu gak mengubah perasaan aku ke kamu,
Rei. Kematian memang sudah menajdi takdir, Rei. Tapi bukan berarti kematian itu
merampas orang-orang yang kamu sayang karena aku yakin nama, sosok dan kenangan
orang itu akan tetap hidup dihati kamu.
*Ray
Air
mata Reina tepat terjatuh di tulisan ‘Ray’ Sesekali Ia menghapus air matanya
sambil memegang kedua bola matanya. Masih ada satu lagi, kotak kecil berwarna
merah berbentuk hati. Ia mencoba membukanya. Betapa terkejutnya saat ia melihat
benda mungil yang ada didalamnya berkilau indah. Cincin itu segera ia ambil dan
ia lingkarkan ke jari manisnya. Kemudian ia keluar dari kamarnya, berlari
menuju ke halaman depan rumahnya.
Reina
menengadahkan kepalanya ke angkasa dan menunjukan cincin yang telah melingkar
cantik di jari manisnya. Ia tersenyum dan membiarkan rambutnya menari-nari
tertiup angin sore.
Terima kasih telah menjadi warna
warni dalam kanvas kehidupanku.
Terima kasih telah membiarkan aku
kembali melihat duniaku yang indah.
Tidur yang nyenyak ya, Ray.....
Berbahagialah kamu diatas diantara barisan awan.
Aku janji akan baik-baik saja
disini.
Karena aku tahu sebagian tubuh dan
cinta kamu telah ada bersamaku. Begitu juga cinta aku yang telah dibawa olehmu.
Kelak Tuhan akan menjadikan mereka satu dikehidupan berikutnya.Percayalah.
Cinta sejati tak akan pernah mati.