Total Tayangan Halaman

Sabtu, 23 November 2013

Relove 2

Seorang gadis cantik melonjak berdiri dari kursinya dan bertepuk tangan keras-keras. Matanya menatap lurus kepanggung sambil tersenyum. Hatinya begitu senang mendengar nama Band The Junkist disebut  sebagai juara pertama lomba tahunan Festival seni SMA Nusa Bangsa.
            Dengan satu gerakan sigap, Sasha mengambil kamera paraloidnya dan mengabadikan foto mereka tepat pada penyerahan piala. Tak sia-sia usahanya  sebagai manajer,mengatur jadwal latihan mereka.
            Para personil yang turun dari panggung, mendapat banyak ucapan selamat dari kerumunan fans mereka. Cepat-Cepat Sasha melangkah dan berjalan keluar dari barisan tempat duduk penonton.
            “Ciee selamat ya yang menang. Jadi kita makan-makan dimana?” Ucap Sasha sekaligus mengoda mereka satu-satu.
            “Gue ikut lo orang aja deh. Nanti kabarin gue mau kemana. Gue cabut ke mobil duluan ya.” Kata Ray, Si vokalis sekaligus ketua Band. Ray pun pergi meninggalkan mereka.
                                                                        ***
            Mobil Avanza hitam itu berhenti tepat di depan sekolah. Ray, membuka laci dimobilnya mencari sesuatu. Jari-jarinya yang lincah cepat-cepat mengambil sesuatu itu.  Bingkai Foto dengan hiasan santa Claus besar disisi sebelah kanan bingkai dengan ukiran salju putih di semua sisinya membuat bingkai tersebut sangat indah. Ray menatap foto yang berada dalam bingkai itu dalam-dalam. Tampak dua sosok anak kecil yang sedang tersenyum sambil berpegangan tangan.  Dengan jemarinya, ia menyentuh foto itu dan mengelusnya lembut. Air mukanya perlahan berubah.
            Hei, Reina, apa kabar kamu disana? Baik-baik saja, bukan?”  Ucapnya lirih. “Aku juga baik-baik saja disini. Aku masih disini, merindukanmu.
            Mendadak tubuhnya begitu lemas.  Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi mobilnya. Mata bulatnya terpejam.
            Rei,sudah sepuluh tahun sejak peristiwa itu berlalu, aku selalu menantimu. Dan ini sudah natal yang ke sepuluh. Hari ini aku menepati janjiku lagi, meraih mimpiku sebagai vokalis band tanpa kehilangan harapan sedikitpun.
            Bagaimana denganmu?
            Masih ingatkah kamu dengan janji natal yang kau ucapkan ? Kapan kau akan menepatinya? Kapanpun itu, aku akan terus menunggumu disini.
            Pintu mobil yang tidak terkunci dari dalam itu terbuka. Sasha tiba-tiba duduk disampingnya. Ray tersentak karena kehadiran cewek itu, Ia cepat-cepat memasukan benda yang ia pegang tadi kedalam tempat asalnya.
            “Reina lagi?Ya ampun, Ray. Ini udah sepuluh tahun Reina gak balik. Lo masih belum lupa sama dia?” Kata Sasha kemudian.
            “Reina pasti balik kok.
            Ray hanya mengangguk tanda setuju. Mobil Avanza itupun melaju.
            “Sha, Lo kenapa?”
            “Gue gak apa-apa kok. Jalan aja nanti telat loh.” Ucapnya perlahan. Nadanya sangat lemas. Ray tahu persis cewek yang disampingnya ini merasakan serangan sakit yang sangat hebat.
            “Kita kerumah sakit ya? Jangan-jangan penyakit lo kambuh lagi.” Ray segera memutarkan mobilnya. Sasha tidak menjawab apa-apa. Ia sangat lemas. Kepalanya terasa makin berat sekarang. Matanya yang bulat kian menyipit dan terpejam. Semua pandangannya menjadi buram. Beberapa detik kemudian semuanya benar-benar gelap.
                                                            ***
Ray berlari masuk kerumah sakit meminta bantuan perawat membawa Sasha yang sudah terbaring tak sadarkan diri dimobilnya.Akhirnya Sasha dibawa oleh dua perawat pria menuju keruangan pasien.Sasha, terbaring belum sadarkan diri di kamar rawatnya.
Ray menunggu diruang tunggu. Ia gelisah. Cowok itu tidak tahu harus berbuat apa. Seorang cewek tiba-tiba duduk disampingnya sambil sedikit bersenandung kecil. Lagu natal. “Jinggle Bell.” Lagu itu membuatnya menoleh kearah cewek itu. Ditatapnya cewek itu baik-baik. Setelah diperhatikan, Ray mengambil satu kesimpulan bahwa cewek itu ternyata adalah seorang tunanetra. Ray masih belum jemu memandang cewek itu. Wajah cewek itu mengingatkannya ada seseorang.
            Reina. Katanya seketika melihat bandul yang mengantung di leher gadis itu. Bandul itu berbentuk Santa Claus putih dengan hiasan permata kecil.
            Cewek itupun menoleh, mendengar namanya disebut. “Gue Ray. Alexander Ray. Lo Reina kan? Reina Natalie? Gue yakin lo Reina.”
            Cewek itu tersentak kaget mendengar namanya disebut. Ia tidak dapat mengenali suara orang disebelahnya itu, tapi entah kenapa hatinya langsung bergetar mendengar suara orang itu menyebut namanya.
            “Lo pasti Reina kan? Anaknya Om Rudi Harjono? Gue Ray.” Ray masih terus melanjutkan kata-katanya tanpa berhenti, sementara Reina hanya terdiam. Cewek itu perlahan mencoba menjauh, meraba-raba jalan dengan tangannya. Ray masih mencegatnya. Tidak ada yang bisa dilakukan cewek itu, selain berkata “Tidak” dan terus menyangkal bahwa dirinya bukan Reina. Namun keyakinan hati Ray membuat air matanya menetes. Cewek itu terisak. Tenggelam dalam tangisan lukanya.
            Ray melihat Reina jatuh berlutut dihadapannya sambil menangis tersedu-sedu. Perlahan ia berjongkok dan memeluk Reina yang gak berhenti nangis. “Gue Cuma mau lo jujur. Lo Reina kan? Reina yang selama ini gue cari. Reina yang ninggalin gue dengan janjinya? Orang yang gue tunggu-tunggu selama sepuluh tahun. Sekarang lo mau bohongin gue kalau, lo bukan Reina? Sayangnya gak bisa, Rei...”
            Cewek itu terdiam. Perlahan, ia mulai membuka suaranya yang dari tadi tidak terdengar. “Maaf, Ray. Gue gak maksud bohongin lo. Gue gak bermaksud buat ngingkari semua janji-janji gue waktu itu. Gue juga selalu nungguin waktu Natal yang tepat. Tapi keadaan yang buat gue gak pernah bisa nemuin kapan Natal itu akan menjadi tepat. Gue gak bisa ketemu lo aja gue gak pantes. Lo liat gue sekarang, gue Cuma cewek buta anak angkatnya dokter Irwan. Tepat sepuluh tahun yanng lalu, kecelakaan itu merampas semua milik gue. Papa, mama, Penglihatan gue, dan juga harapan gue buat nepatin janji gue ke lo. Maaf Ray.”
            Reina benar, dia sekarang sudah buta. Tapi apa Ray peduli? Tidak. Ray sama sekali tidak peduli dengan itu. Baginya melihat cewek ini saja sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Ia sudah dapat mengeluarkan rindunya yang telah terkubur dalam hatinya. Ray tetap memeluknya begitu erat, seakan ia tidak mau kehilangan cewek didepannya lagi.
            “Gue tahu pasti dengan keadaan gue yang begini, lo gak mungkin mau ketemu sama gue.”
            Reina salah. Mau seperti apapun kondisinya, Hati Ray tetap mencintainya sebagai sosok Reina dulu. Dan tidak ada yang berubah dari perasaannya kepada cewek  itu. Sungguh Ray mencintainya.
            Di tengah pertemuan rindu kedua insan. Dokter keluar dari kamar Sasha. Beliau menyatakan keadaan Sasha sudah membaik, ternyata cewek itu terkena anemia fertigo kronis. Sasha memang sering sakit kalau sudah kelelahan. Ray menyeka sisa-sisa air mata Reina yang menempel dipipinya.
Cowok itu membawa Reina masuk. Ia memperkenalkannya kepada Sasha dan menceritakannya. Mulai dari pertama kali ia bertemu sampai sekarang. Sementara Sasha hanya berdiam diri menikmati kebisuanya. Tenggorokannya tercekat, dan tidak mampu mengeluarkan satu katapun.
Sasha melihat sesuatu yang sudah lama tak ia lihat, senyum Ray yang penuh kebahagiaan. Satu-satunya hal yang Sasha rindukan. Kalau saja Ray tahu. Kalau saja Hati Ray bisa merasakannya. Saat ini Sasha sedang menangis bahagia. Bahagia melihat orang yang disayanginya bisa tertawa bahagia lagi, walaupun itu semata karena kehadiran Reina.
                                                            ***
Sudah beberapa hari ini Ray jadi sering kerumah sakit hanya untuk bertemu dengan Reina. Sekalian mengecek kondisi Sasha yang semakin membaik. Sasha terus mengamati Ray yang duduk disamping Reina. Ray memeluk Reina dengan lembut dan menyentuh rambut cewek itu.
Hati Sasha seperti terisis-iris melihat semuanya. Ia hanya mencoba menahan semua perasaannya. Apa yang harus ia lakukan? Sekencang apapun hatinya meronta, Ray tidak akan pernah mendengarnya.
“Ray, lo udah jadian sama Reina ya?” Tanya Sasha dengan nada sumbang
“Belum. Rencananya gue mau nembak dia besok. Gue udah siapin segalanya. Lo tahu gak, Sha. Gue seneng banget bisa. Semingguan ini hidup gue kembali lagi. Okoknya kalau gue jadian sama Reina, lo orang pertama yang gue traktir.” Ray tersenyum.
Sasha membalas senyum Ray. Ia menguatkan hatinya yang mencelos untuk dapat tersenyum, menutupi luka yang ia rasakan. Cinta memang tak bisa dipaksakan. Sasha tahu persis hal itu. Dan sekarang yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa semoga besok menjadi hari terindah buat Ray juga Reina.

Motor hitam Duccati itu melaju kencang. Seseorang yang sedang terburu- buru membawanya melebihi kecepatan yang seharusnya. Dan saat yang bersamaan pula, sebuah mobil truk berkecepatan yang sama tingginya melaju tepat dari arah depan motor itu.
BRUKKK!!!
Kecelakaan maut pun terjadi. Cowok yang mengendarai motor itu terlempar jauh dari motornya. Tubuh cowok itu bergesekan langsung dengan aspal, begitu pula kepalanya. Darah merah sewarna dengan mawar yang jatuh berserakan mengalir deras membasahi aspal. Ditengah sisa-sisa kekuatannya, cowok itu berusaha meraih cincin berhiaskan  permata putih kecil yang membentuk tanda love. Dan seketika tangannya menyentuh cincin itu, tenaganya pun habis.
“ Reinaa!” Dokter Irwan berteriak memanggil Reina yang sedang asyik duduk ditaman  seperti menunggu seseorang.
‘Iya, pa?” Tanya segera menghampiri papanya. Ia berjalan menggunakan tongkatnya.
“Ray... Ray sekarang ada di UGD dan dia dalam keadaan sekarat..”
“APA?? GAK MUNGKIN!!!”
                                                ***
Hari ini hujan. Ray meninggal. Untuk kedua kalinya cewek itu berada ditempat ini, tempat yang menyadarkan dirinya bahwa orang yang disayanginya sudah tidak  lagi ada. Ia membiarkan air matanya tumpah ditengah derasnya hujan. Saat itu juga alam semesta seperti mersakan luka dihati Reina. Luka yang menganga lebar di hatinya. Seluruh hatinya seakan ikut terkubur bersama sosok cowok itu. Miris. Itu satu-satunya kata yang tepat untuk menggambarkan hidupnya. Mengapa begitu cepat Tuhan mempertemukan dia dan merampasnya kembali? Bahkan ia belum sempat melihat wajah Ray dari awal pertemmuannya sampai ia sekarat  di ruang UGD. Yang ia hanya bisa lakukan hanya menangis dan merasakan dokter yang berjuang membuat mata Ray terbuka kembali dan nafas Ray berhembus lagi, tanpa bisa melihat atau masuk kedalamnya. Sungguh tak berguna. Kenapa Tuhan tak mengijinkannya menemani Ray di saat Ray berjuang melawan rasa sakitnya?  Kenapa Tuhan begitu kejam padanya? Kenapa?? Berulang kali ia meruntuki dirinya sendiri dan menghujam Tuhan-nya.
Ketika itu ia melihat ukiran nama Ray di batu nisan, ia tersadar. Ini bukan salah Tuhan. Ini takdir. Semua orang ditakdirkan merasakan cinta, namun tidak semuanya dapat memiliki keindahan dari akhir cinta tersebut.
7 hari kemudian..
“Rei, ini ada sesuatu dari dokter Ridwan yang merawat Ray. Katanya Ray menyuruh Dokter Ridwan menuliskan surat ini untukmu. Hingga surat dan sesuatu yang dikotak itu diberikan olehnya, perjuangannya berhenti, ia menghembuskan nafasnya untuk yang terakhir kali .”  Dokter Irwan kemudian beranjak meninggalkan anaknya sendirian didalam kamarnya. Ia tahu persis apa yang dirasakan Reina. Kehilangan seseorang yang disayang memang menyakitkan.
Reina membuka lipatan surat itu perlahan-lahan. Reina membacanya.
Sewaktu kamu negbaca surat ini, aku yakin kamu sudah bisa melihat. Sebenarnya aku mau jadi orang pertama yang bisa kamu liat. Maaf .. karena aku harus pergi meninggalkanmu. Maaf karena aku udah gak bisa jagain kamu lagi. Terima kasih buat Natalnya. Terima kasih karena kamu telah memberikan kebahagiaan dalam hidupku. Satu hal yang perlu kamu tahu, Rei. Mungkin ini sudah terlambat, tapi gue harus bilang ke lo. “Aku sayang banget sama kamu, Rei.”Dari dulu,bahkan sampai sekarang perasaan itu gak berubah sedikitpun. At least my heart promise to love you forever.
Oh iya, satu hal lagi, jangan sedih ya. Janji sama aku, jangan pernah kehilangan harapan. Aku ngak akan kemana-mana.. Aku selalu ada bersamamu karena sekarang salah satu bagian dari tubuh aku ada bersama kamu. Aku kasih mata ini buat nunjukin ke kamu kalau dunia ini indah, Rei. Aku gak mau lihat kamu seperti kehilangan harapan kamu semenjak kecelakaan itu. Kecelakaan itu gak ngambil segalanya, Rei. Lihat Aku. Aku masih cinta sama kamu. Kecelakaan itu gak mengubah perasaan aku ke kamu, Rei. Kematian memang sudah menajdi takdir, Rei. Tapi bukan berarti kematian itu merampas orang-orang yang kamu sayang karena aku yakin nama, sosok dan kenangan orang itu akan tetap hidup dihati kamu.                                                                                                                       
  *Ray
Air mata Reina tepat terjatuh di tulisan ‘Ray’ Sesekali Ia menghapus air matanya sambil memegang kedua bola matanya. Masih ada satu lagi, kotak kecil berwarna merah berbentuk hati. Ia mencoba membukanya. Betapa terkejutnya saat ia melihat benda mungil yang ada didalamnya berkilau indah. Cincin itu segera ia ambil dan ia lingkarkan ke jari manisnya. Kemudian ia keluar dari kamarnya, berlari menuju ke halaman depan rumahnya.
Reina menengadahkan kepalanya ke angkasa dan menunjukan cincin yang telah melingkar cantik di jari manisnya. Ia tersenyum dan membiarkan rambutnya menari-nari tertiup angin sore.
Terima kasih telah menjadi warna warni dalam kanvas kehidupanku.
Terima kasih telah membiarkan aku kembali melihat duniaku yang indah.
Tidur yang nyenyak ya, Ray..... Berbahagialah kamu diatas diantara barisan awan.
Aku janji akan baik-baik saja disini.
Karena aku tahu sebagian tubuh dan cinta kamu telah ada bersamaku. Begitu juga cinta aku yang telah dibawa olehmu. Kelak Tuhan akan menjadikan mereka satu dikehidupan berikutnya.Percayalah. Cinta sejati tak akan pernah mati.


Sabtu, 02 November 2013

Unexpected Love

Relove (Ray REi love)



Seorang gadis cantik melonjak berdiri dari kursinya dan bertepuk tangan keras-keras. Matanya menatap lurus kepanggung sambil tersenyum. Hatinya begitu senang mendengar nama Band The Junkist disebut  sebagai juara pertama lomba tahunan Festival seni SMA Nusa Bangsa.
            Dengan satu gerakan sigap, Sasha mengambil kamera paraloidnya dan mengabadikan foto mereka tepat pada penyerahan piala. Tak sia-sia usahanya  sebagai manajer,mengatur jadwal latihan mereka.
            Para personil yang turun dari panggung, mendapat banyak ucapan selamat dari kerumunan fans mereka. Cepat-Cepat Sasha melangkah dan berjalan keluar dari barisan tempat duduk penonton.
            “Ciee selamat ya yang menang. Jadi kita makan-makan dimana?” Ucap Sasha sekaligus mengoda mereka satu-satu.
            “Gue ikut lo orang aja deh. Nanti kabarin gue mau kemana. Gue cabut ke mobil duluan ya.” Kata Ray, Si vokalis sekaligus ketua Band. Ray pun pergi meninggalkan mereka.
                                                                        ***
            Mobil Avanza hitam itu berhenti tepat di depan sekolah. Ray, membuka laci dimobilnya mencari sesuatu. Jari-jarinya yang lincah cepat-cepat mengambil sesuatu itu.  Bingkai Foto dengan hiasan santa Claus besar disisi sebelah kanan bingkai dengan ukiran salju putih di semua sisinya membuat bingkai tersebut sangat indah. Ray menatap foto yang berada dalam bingkai itu dalam-dalam. Tampak dua sosok anak kecil yang sedang tersenyum sambil berpegangan tangan.  Dengan jemarinya, ia menyentuh foto itu dan mengelusnya lembut. Air mukanya perlahan berubah.
            Hei, Reina, apa kabar kamu disana? Baik-baik saja, bukan?”  Ucapnya lirih. “Aku juga baik-baik saja disini. Aku masih disini, merindukanmu.
            Mendadak tubuhnya begitu lemas.  Ia menyandarkan buhnya ke kursi mobilnya. Mata bulatnya terpejam.
            Rei,sudah sepuluh tahun sejak peristiwa itu berlalu, aku selalu menantimu. Dan ini sudah natal yang ke sepuluh. Hari ini aku menepati janjiku lagi, meraih mimpiku sebagai vokalis band tanpa kehilangan harapan sedikitpun.
            Bagaimana denganmu?
            Masih ingatkah kamu dengan janji natal yang kau ucapkan ? Kapan kau akan menepatinya? Kapanpun itu, aku akan terus menunggumu disini.
            Pintu mobil yang tidak terkunci dari dalam itu terbuka. Sasha tiba-tiba duduk disampingnya. Ray tersentak karena kehadiran cewek itu, Ia cepat-cepat memasukan benda yang ia pegang tadi kedalam tempat asalnya.
            “Reina lagi?Ya ampun, Ray. Ini udah sepuluh tahun Reina gak balik. Lo masih belum lupa sama dia?” Kata Sasha kemudian.
            “Reina pasti balik kok.
            Ray hanya mengangguk tanda setuju. Mobil Avanza itupun melaju.
            “Sha, Lo kenapa?”
            “Gue gak apa-apa kok. Jalan aja nanti telat loh.” Ucapnya perlahan. Nadanya sangat lemas. Ray tahu persis cewek yang disampingnya ini merasakan serangan sakit yang sangat hebat.
            “Kita kerumah sakit ya? Jangan-jangan penyakit lo kambuh lagi.” Ray segera memutarkan mobilnya. Sasha tidak menjawab apa-apa. Ia sangat lemas. Kepalanya terasa makin berat sekarang. Matanya yang bulat kian menyipit dan terpejam. Semuanya pandangannya menjadi buram. Beberapa detik kemudian semuanya benar-benar gelap.
                                                            ***
Ray berlari masuk kerumah sakit meminta bantuan perawat membawa Sasha yang sudah terbaring tak sadarkan diri dimobilnya.Akhirnya Sasha dibawa oleh dua perawat pria menuju keruangan pasien.Sasha, terbaring belum sadarkan diri di kamar rawatnya.
Ray menunggu diruang tunggu. Ia gelisah. Cowok itu tidak tahu harus berbuat apa. Seorang cewek tiba-tiba duduk disampingnya sambil sedikit bersenandung kecil. Lagu natal. “Jinggle Bell.” Lagu itu membuatnya menoleh kearah cewek itu.Ditatapnya cewek itu baik-baik. Setelah diperhatikan, Ray mengambil satu kesimpulan bahwa cewek itu ternyata adalah seorang tunanetra. Ray masih belum jemu memandang cewek itu. Wajah cewek itu mengingatkannya ada seseorang.
            Reina. Katanya seketika melihat bandul yang mengantung dileher gadis itu. Bandul itu berbentuk Santa Claus putih dengan hiasan permata kecil.
            Cewek itupun menoleh, mendengar namanya disebut. “Gue Ray. Alexander Ray. Lo Reina kan? Reina Natalie? Gue yakin lo Reina.”
            Cewek itu tersentak kaget mendengar namanya disebut. Ia tidak dapat mengenali suara orang disebelahnya itu, tapi entah kenapa hatinya langsung bergetar mendengar suara orang itu menyebut namanya.
            “Lo pasti Reina kan? Anaknya Om Rudi Harjono? Gue Ray.” Ray masih terus melanjutkan kata-katany tanpa berhenti, sementara Reina hanya terdiam. Cewek itu perlahan mencoba menjauh, meraba-raba jalan dengan tangannya. Ray masih mencegatnya. Tidak ada yang bisa dilakukan cewek itu, selain berkata “Tidak” dan terus menyangkal bahwa dirinya bukan Reina. Namun keyakinan hati Ray membuat air matanya mentes. Cewek itu terisak. Tenggelam dalam tangisan lukanya.
            Ray melihat Reina jatuh berlutut dihadapannya sambil menangis tersedu-sedu. Perlahan ia berjongkok dan memeluk Reina yang gak berhenti nangis. “Gue Cuma mau lo jujur. Lo Reina kan? Reina yang selama ini gue cari. Reina yang ninggalin gue dengan janjinya? Orang yang gue tunggu-tunggu selama sepuluh tahun. Sekarang lo mau bohongin gue kalau, lo bukan Reina? Sayangnya gak bisa, Rei...”
            Cewek itu terdiam. Perlahan, ia mulai membuka suaranya yang dari tadi tidak terdengar. “Maaf, Ray. Gue gak maksud bohongin lo. Gue gak bermaksud buat ngingkari semua janji-janji gue waktu itu. Gue juga selalu nungguin waktu Natal yang tepat. Tapi keadaan yang buat gue gak pernah bisa nemuin kapan Natal itu akan menjadi tepat. Gue gak bisa ketemu lo aja gue gak pantes. Lo liat gue sekarang, gue Cuma cewek buta anak angkatnya dokter Irwan. Tepat sepuluh tahun yanng lalu, kecelakaan itu merampas semua milik gue. Papa, mama, Penglihatan gue, dan juga harapan gue buat nepatin janji gue ke lo. Maaf Ray.”
            Reina benar, dia sekarang sudah buta. Tapi apa Ray peduli? Tidak. Ray sama sekali tidak peduli dengan itu. Baginya melihat cewek ini saja sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Ia sudah dapat mengeluarkan rindunya yang telah terkubur dalam hatinya. Ray teta memeluknya begitu erat, seakan ia tidak mau kehilangan cewek didepannya lagi.
            “Gue tahu pasti dengan keadaan gue yang begini, lo  gak mungkin mau ...
            Reina salah. Mau seperti apapu kondisinya, Hati Ray tetap mencintainya sebagai sosok Reina dulu. Dan tidak ada yang berubah dari perasaannya kepada cewek  itu. Sungguh Ray mencintainya.
            Di tengah pelepasan rindu kedua insan. Dokter keluar dari kamar Sasha. Beliau menyatakan keadaan Sasha sudah membaik, ternyata cewek itu terkena anemia kronis. Sasha memang sering sakit kalau sudah kelelahan. Ray menyeka sisa-sisa air mata Reina yang menempel dipipinya.
Cowok itu membawa Reina masuk. Ia memperkenalkannya kepada Sasha dan menceritakannya. Mulai dari pertama kali ia bertemu sampai sekarang. Sementara Sasha hanya berdiam diri menikmati kebisuanya. Tenggorokannya tercekat, dan tidak mampu mengeluarkan satu katapun.
Sasha melihat sesuatu yang sudah lama tak ia lihat, senyum Ray yang penuh kebahagiaan. Satu-satunya hal yang Sasha rindukan. Kalau saja Ray tahu. Kalau saja Hati Ray bisa merasakannya. Saat ini Sasha sedang menangis bahagia. Bahagia melihat orang yang disayanginya bisa tertawa bahagia lagi karena kehadiran Reina.
                                                            ***
Sudah beberapa hari ini Ray jadi sering kerumah sakit hanya untuk bertemu dengan Reina. Sekalian mengecek kondisi Sasha yang semakin membaik. Sasha terus mengamati Ray yang duduk disamping Reina. Ray memeluk Reina dengan lembut dan menyentuh rambut cewek itu.
Hati Sasha seperti terisis-iris melihat semuanya. Ia hanya mencoba menahan semua perasaannya. Apa yang harus ia lakukan? Sekencang apapun hatinya meronta, Ray tidak akan pernah mendengarnya.
“Ray, lo udah jadian sama Reina ya?” Tanya Sasha dengan nada sumbang
“Belum. Rencananya gue mau nembak dia besok. Gue udah siapin segalanya. Lo tahu gak, Sha. Gue seneng banget bisa. Semingguan ini hidup gue kembali lagi. Okoknya kalau gue jadian sama Reina, lo orang pertama yang gue traktir.” Ray tersenyum.
Sasha membalas senyum Ray. Ia menguatkan hatiinya yang mencelos untuk dapat tersenyum, menutupi luka yang ia rasakan. Cinta memang tak bisa dipaksakan. Sasha tahu persis hal itu. Dan sekarng yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa semoga besok menjadi hari terindah buat Ray juga Reina.

Motor hitam Duccati itu melaju kencang. Seseorang yang sedang terburu- buru memawanya melebihi kecepatan yang seharusnya. Dan saat yang bersamaan pula, sebua mobil truk berkecepatan yang sama tingginya melaju tepat dari arah depan motor itu.
BRUKKK!!!
Kecelakaan maut pun terjadi. Cowok yang mengendarai motor itu terlempar jauh dari motornya. Tubuh cowok itu bergesekan langsung dengan aspal, begitu pula kepalanya. Darah merah sewarna dengan mawar yang jatuh berserakan mengalir deras membashai aspal. Ditengah sisa-sisa kekuatannya, cowok itu berusaha meraih cincin berhiaskan  permata putih kecil yang membentuk tanda love. Dan seketika tangannya menyentuh cincin itu, tenaganya pun habis.
“ Reinaa!” Dokter Irwan berteriak memanggil Reina yang sedang asyik duduk ditaman  seperti menunggu seseorang.
‘Iya, pa?” Tanya segera menghampiri papanya. Ia berjalan menggunakan tongkatnya.
“Ray... Ray sekarang sekarang ada di UGD dan dia dalam keadaan koma..”
“APA?? GAK MUNGKIN!!!”
                                                ***
Hari ini hujan. Ray meninggal. Untuk kedua kalinya cewek itu melihat nama orang yang disayanginya tertulis dibatu nisan. Ia membiarkan air matanya tumpah. Saat itu juga alam semesta seperti mersakan luka dihati Reina. Luka yang menganga lebar di hatinya. Seluruh hatinya seakan ikut terkubur bersama sosok cowok itu. Mengapa begitu cepat Tuhan mempertemukan dia dan merampasnya kembali? Tidak. Ini bukan salah Tuhan. Ini takdir. Seseorang ditakdirkan merasakan cinta, namun tidak semuanya akan memiliki indahnya akhir cinta tersebut.
7 hari kemudian..
“Rei, ini ada surat dari dokter Ridwan yang merawat Ray. Katanya Ray menuliskannya untukmu.”  Dokter Irwan kemudian beranjak meninggalkan anaknya sendirian didalam kamarnya. Ia tahu persis apa yang dirasakan Reina. Kehilangan seseorang yang disayang memang menyakitkan.
Reina membuka lipatan surat itu perlahan-lahan. Reina membacanya.
Sewaktu kamu negbaca surat ini, aku yakin kamu sudah bisa melihat. Sebenarnya aku mau jadi orang pertama yang bisa kamu liat. Maaf .. karena aku harus pergi meninggalkanmu. Maaf karena aku udah gak bisa jagain kamu lagi. Terima kasih buat Natalnya. Terima kasih karena kamu telah memberikan kebahagiaan dalam hidupku. Satu hal yang perlu kamu tahu, Rei. Mungkin ini sudah terlambat, tapi gue harus bilang ke lo. “Aku sayang banget sama kamu, Rei.”Dari dulu,bahkan sampai sekarang perasaan itu gak berubah sedikitpun. At least my heart promise to love you forever.
Oh iya, satu hal lagi, jangan sedih ya. Janji sama aku, jangan pernah kehilangan harapan. Aku ngak akan kemana-mana.. Aku selalu ada bersamamu karena sekarang bagian tubuh kita sudah menyatu. Mataku sudah ada bersamamu. Gue kasih mata ini buat nunjukin ke lo kalau dunia ini indah, Rei. Gue gak mau lihat lo seperti kehilangan harapan lo semenjak kecelakaan itu. Kecelakaan itu gak ngambil segalanya, Rei. Lihat gue. Gue masih cinta sama lo. Kecelakaan itu gak mengubah perasaan gue ke lo, Rei. Kematian memang sudah menajdi takdir, Rei. Tapi bukan berarti kematian itu merampas orang-orang yang lo sayang karena gue yakin nama, sosok dan kenangan orang itu akan tetap hidup dihati lo.                                                                                                                       *Ray
Air mata Reina tepat terjatuh di tulisan ‘Ray’. Saat itu alam juga merasakan kepedihannya. Sesekali Ia menghapus air matanya sambil memegang kedua bola matanya. Kemudian ia membuka jendela kamarnya dan menatap langit.
Terima kasih telah menjadi warna warni dalam kanvas kehidupanku.
Terimakasih telah membiarkan aku kembali melihat duniaku yang indah.
Tidur yang nyenyak ya, Ray..... Berbahagialah kamu diatas sana bersama malaikat.
Aku janji akan baik-baik saja disini.
Karena aku tahu sebagian tubuh dan cinta kamu telah ada dihati ini. Begitu juga cinta aku yang telah dibawa olehmu.

Sabtu, 26 Oktober 2013

“Saya akan mengumumkan siapa orang yang beruntung yang akan mendapatkan paket tour ke Paris gratis.Dan nomor pemenangnya adalah ............088899567”
Gadis itu kemudian melonjak berdiri dari kursinya begitu presenter acara tersebut selesai membacakan pengumuman. Hatinya begitu senang ketika mendengar nomornyalah yang telah terpilih dari sekian banyak orang.
                                                            ***
            Pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan A-027 mendarat cantik ditengah hamparan luasanya bandara Charles de Gaulle. Mara bersiap melepaskan sabuk pengamannya. Perlahan suara derap langkah dari hak stilleto merahnya terdengar , saat ia menuruni tangga pesawat.
            Dan inilah dia. Gadis itu telah sampai menginjakan kakinya di Paris.  Jiwa gadis itu maih belum percaya kalau raganya sekarang sudah ada di Paris. Ia menghirup napas dalam-dalam dan memanjatkan doa syukur kepada Tuhan. Lalu ia melihat sekelilingnya. Sekitarnya ramai dipenuhi orang kulit putih yang berlalu lalang.
            Gadis itu tersenyum kecil. “Paris.. I’m Coming!!”
`           Sekitar  10 menit, ia menepuk pelan dahinya. Mara pelupa akhirnya melupakan salah satu hal penting. Ia lupa bahwa seorang tourguide yang akan menemaninya dan menungggunya di Bandara. ia tinggal. Tak ada kesempatan kembali lagi menuju nama Hotel yang barusan ia sebut.
            Taksi tersebut berhenti disebuah bangunan besar bertuliskan “ Eiffel Seine Hotel” .Gadis itu turun dari taksi tersebut lalu masuk ke hotel.  Gadis  itu nyaris menganga lebar saat memasuki hotel yang bergaya art Nouveau . Pintu hotel yang otomatis akan membuka sendiri jika ada orang yang lewat. Hal itu tentu sudah biasa, tapi yang membuat gadis itu terkagum-kagum adalah dekorasi hotel itu dengan kermerlap cahaya lampu yang menyinari sisi hotel dan Semua arsitektur hotel yang disusun nyaris sempurna. Ia semakin penasaran dan ingin mengetahui seperti apa kamar yang nantinya akan ia tempati. Imajinasinya mulai berhamburan mendatangi otaknya, membuatnya tersenyum tipis.
            Dengan mengeluarkan segenap kemampuan berbahasa Inggrisnya Mara berkomunikasi dengan receipsionist hotel. Ia memesan satu kamar. Lebih tepatnya sih bertanya mengenai kamar yang sudah dipesan dari Manajer Kuis undian yang ia ikuti.
            Tiba-tiba seorang lelaki  datang dan juga mengucapkan salah satu kata yang sama dengannya.
Holiday Paradise
Ya, nama begitulah acara undian yang membawa gadis itu sampai disini.
            “Holiday Paradise? This is the key. Here it is.”  Wanita receipsionist itu kemudian menyerahkan sebuah kunci kepada Mara. Namun sebelum kunci jatuh ketangan Mara, Cowok tu dengan jari-jari besarnya merebut kunci tersebut. Mulailah pertengkaran mereka.
            Wanita recepsionist itu hampir saja memanggil satpam hotel untuk mengusir mereka. Sebelum akhirnya mereka terdiam bersamaan.
            “Stopp!!! Holiday Paradise just reserve one room. You may check and stay together or you can reserve one room again.”
                                                            ***
Dengan jari mungil nya Mara memutar kunci yang sudah tergantung dipintu.
Kreekk!! Pintu terbuka.
Benar saja, kamar ini membuatnya harus menutup mulutnya lagi. Ukuran kamar ini mendekati kata sangat lebar.  Semuanya nyaris bernuansa clasic. Cat temboknya yang berwarna bau-abu keputih-putihan berpadu dengan spreinya yang berwarna biru keau-abuan. Semua indah. Dan ada satu hal lagi. Dari jendela besar yang terletak dikamarnya ia bisa langsung melihat keindahan sungai Seine.
Bug!
Bunyi badan mungil Mara menyentuh keempukan ranjang hotel. Nyaman sekali. Sesekali ia memejamkan matany. Sayang sekali ada sesuatu yang tiba-tiba mengganggu kenyamannya saat cowok itu tiba-tiba hadir didepannya sambil berdeham keras. Ia nyaris teriak.
“Nona manis. Itu ranjang Cuma ada satu dan kita berjumlah dua orang. So...”
Dimulai dari ucapan cowok itu terjadilah pertengkaran perebutan wilayah kekuasaan. Butuh waktu yang cukup lama bagi mereka hingga pada akhirnya dapat berdiam diri lagi setelah menandatangani surat perjanjian dikertas. Perjanjian mengenai batasan wilayah yang telah diatur sedemikian rupa oleh mereka.
Sebagai cewek Mara tidak mau kalah. Ia mendapatkan kekuasaan ranjang empuk itu dua hari pertama mulai dari hari ini. Minimal ranjang itu bisa membantu dia memulihkan lagi tulang-tulangnya yang lelah.
                                                            ***
Pagi ini, pertama kalinya Davi menjalankan tugasnya sebagai Tourguide Mara setelah perkenalannya semlam dengan gadis itu yang dipenuhi dengan bumbubumbu pertengkaran. Gadis satu ini membuatnya harus banyak-banyak mengelus dada.
Tempat tujuan pertama mereka adalah Menara Eifell. Menara yang menjadi lambang kota mide tersebut. Letaknya tidak jauh dari hotel tempat mereka menginap, hanya 500 m.
Setelah berjalan kaki, anggap saja maraton di pagi hari mereka  sampai juga disana.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjok12weJh3_y0RdozAu7PhL5Sax3Xc0sebWN4dquhf2EC8IdJfXyw22fX7vqIfnxuJ1KxpGkCLVp5SrOSl5gCYx3-AEJjUCQpNvPe62loOKJ7QtfPqnJfZqKfHI-x3r2b3ryrOKJRSBkcE/s1600/Eiffel.jpg

Mara berteriak kesenangan. Dari dulu gadis itu memang selalu bermimpi memeluk menara Eifell. Dan sekarang menara tersebut ada didepannya. Ia berlari kecil menuju menara itu lalu mengelus-ngelus menara. Davi hanya memperhatikan cewek itu dari kejauhan sambil bergidik.
 “Oh iya, Dav. Lo potoin gue sih disini.” Lanjut Mara. Gadis itu menyerahkan kamera paroloid kunonya yang sejak tadi mengantung dilehernya.
Davi hanya mengangguk pasrah Inilah yang Davi paling benci dari semua pelanggan Tour dia. Semuanya selalu minta difoto. Hello.... Davi Angkasa Argita adalah seorang Tourguide bukan Fotografer. Hanya itulah yang selalu dieluhkan Davi dalam batinnya berharap hatinya bisa berbicara.
Mara berdiri dibawa menara yang tingginya lebih dari ratusan kaki itu , bergaya memegang tiang menara bak model pemotretan. Rambutnya mengembang diterpa angin.Ia tersenyum cerah secerah langit biru berselimut awan putih pada pagi itu.
Melalui lensa bagian belakang kamera Davi dapat bermaksud membidik satu jepretan. Ia terkesima seketika, bukan kepada semua pemandangan indah dimenara itu tapi kepada sosok cewek cantik yang sedang tersenyum manis. Cantik sekali.
Tidak hanya puas hnya berfoto disana. Mara ingin menyelusuri menara yang di cat cokelat kellabu itu lebih dekat. Ia ingin menaikinya. Benar-benar, ini adalah saat-saat yang sangat ia impikan. Ia bisa masuk kedalam menara rancangan Emile Nouguier dan teman-temannya.
Tingkat pertama dan kedua dapat diakses dengan tangga dan lift. Sebuah loket tiket di menara selatan menjual tiket ke anak tangga yang dimulai di tempat itu. Di platform pertama tangga menaik dari menara timur dan pertemuan tingkat ketika hanya dapat diakses dengan lift. Dari platform pertama atau kedua tangga dibuka bagi semua orang yang naik dan turun tergantung apabila mereka telah membeli tiket lift atau tiket tangga.Ketika keluar lift di tingkat ketiga, mereka menaiki 15 anak tangga menuju platform pengamatan atas. Jumlah anak tangga dituliskan secara bertahap di sisi tangga untuk memberikan tanda tangga naik. Kebanyakan tangga naik memberikan pemandangan langsung ke bawah atau sekitar menara meskipun beebrapa anak tangga pendek tertutup.
Dan sekarang tibalah mereka dipuncak tertinggi. Dari sini semua terlihat sangat jelas keindahan kota Paris. Langit yang iasanya terkihat jauh sekarang tiba-tiba terlihat begitu dekat dengannya. Mara merasakan sentuhan angin yang membelainya. Sementara, Davi hanya mampu menatap gadis itu terpesona.
Begitulah hari-hari mereka abiskan. Berdua mengelilingi kota Paris yang penuh dengan kata indah.
                                                 ***
Tak terasa sudah seminggu. Dan prahara itu datang. Diam-diam kebersamaan diantara mereka berubah menjadi cinta tersembunyi. Cinta yang perlahan mengisi lllabirin-labirin sunyi dihati mereka. Cinta yang mulai mewarnai hari-hari mereka tanpa mereka sadari.
                                                ***
Selesai mandi dan berpakaian, Mara meraba meja rias. Ia menemukan secarik kertas surat tergeletak.
To: Mara
From: Davi
Woii lo kesiangan. Gue hari ini dari pagi sampai malem gak ada di hotel. Jadi lo puas-puasin lah nikmatin fasilitas hotel. Lagian hari ini hari terakhir lo berada disini. Oh iya, Mar. Ada sesuatu yang gue mau omongin ke lo. Ntar malem jam 8. Lo datang ke Le deine resto. Gue udah suruh  taksi jemput lo.
Thanks
Davi
Mara menutup surat dengan air muka bingungnya. Baru kali ini Davi melakukan hal ini. Davi. Betulkah? Ia melakukan semua ini? Untuk apa?
Hal ini benar-benar sulit diterima akal sehatnya. Davi yang biasanya hanya memberikannya cacian makian dan kekesalan sekarang memberinya sebuah dress secantik ini.
Mara benar-benar bertekad tampil beda malam nanti.
                                                ***
Gadis itu langsung saja disuruh naik oleh supir taksi yang katanya suruhan Davi. Taksi tersebut membawanya ke sebuah tempat yang belum ia kunjungi sebelumnya.
Restauran Le diane
Mata Mara melirik kesana-kesini melihat seluruh dekorasi resto tersebut. Lampunya  bagai sinar kunang-kunang. Cat temboknya berwarna cream sepadan dengan atap resto tersebut yang berwarna cokelat susu.Tiap ruangan diletakan lilin-lilin putih yang sengaja dinyalakkan agar menambah atmosfer kehangatan didalamnya.
Mara melangkah mengikuti pelayan resto yang menunjukan kepadanya dimana Davi telah menunggunya.
Benarkah yang ada didepannya itu Davi?
Davi memegang lembut tangan gadis itu dan menyiapkan kursi untuknya duduk.
Hening.
Mereka berdua saling memandang seakan-akan terhipnotis juga dengan suasana romantis malam yang dihidangkan oleh Le diane.
Seorang lelaki setengah baya tiba-tiba masuk keruangan. Lelaki itu memegang biola dan mulai mengeluarkan alunan melodi romantis. Davi mengulurkan tangannya ke Mara .Mara bangkit berdiri dan mendekatkan diri ke Davi.Gadis itu menyentuh pundak Davi dan Davi melingkarkan tangannya ke pinggang Mara . Mereka mulai menar-nari seakan resto tesebut milik mereka.
Lagu alunan petikan dawai biola tersebut mengalun indah, jauh lebih indah dari yang sebenarnya karena mereka tak berhenti-hentinya tersenyum dan saling menatap satu sama lain. Berharap malam ini tidak akan pernah berakhir.
Dan musikpun berhenti. Davi memegang kedua tangan Mara.
“Mar, gue gak tau harus mulai dari mana. Sebab gue juga gak tahu kapan dan dari mana rasa ini tiba-tiba muncul. Gue cinta sama lo, Mar.”  YA gak usah jawab sekarang juga gak apa-apa. Yang jelas gue udah nyampein semuanya sebelum lo pergi balik ke Jakarta.”
Entah dorongan dari mana. Mara memeluk tubuh Davi begitu hangta. Lalu melepaskannya perlahan. “Kalau emang kita berjodoh. Kita pasti bertemu lagi di Paris. Dan ketika itulah gue akan jawab semuanya.”
                                                ***
1 tahun kemudian...
Paris, masih dengan menara Eifellnya yang tetap berdiri kokoh. dan masih dengan segala keindahannya. Davi memotret menara Eiffel menggunakan kameranya. Sungguh suasana ini mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang telah membawa hatinya pergi bersamanya.
“Mas, bisa tolong fotoin gak?” Terdengar suara cewek yang sempet membuat Davi emnolehkan wajahnya kearah sumber suara.
Benarkah dia Mara? Atau ini hanya imajinasinya saja?
 “Mar..

Belum sempet Davi meneruskan nama itu. Seseorang yang punya nama itu kemudian memeluknya erat. “Sekarang gue mau jawab janji gue didepan menara Eiffel. Davi Angkasa Argita, I love u.” Bisik gadis itu kepada cowok dihadapannya yang saat ini benar-benar merasa seperti dirinya sedang berada dipuncak menara Eiffel.