Total Tayangan Halaman

Rabu, 09 April 2014

Kusebut Itu Cinta

Aku masih terdiam menatap langit-langit kelas  membayangkan kejadian malam itu. Kejadiaan yang masih terus menguntit otakku hingga sekarang. Aku masih mengingat wajah cowo itu dengan jelas. Bahkan kehangatan bibirnya yang menempel dibibirku masih dapat kurasakan. Malam itu kedua bibir kami yang awlanya meragu itu bertemu. Dibawah langit malam dan sorot lampu teras rumah ciuman itu tercipta dan bertahan sepersekian detik sebelum kami berdua tersadar dan melepaskannya.
Wajah Dino sekarang berputar-putar dalam otakku sesaat seketika ku mengingat peristiwa semalam. Wajahnya yang putih berbentuk oval. Alisnya yang begitu tebal yang berada diatas mata sipitnya. Mata yang selalu memancarkan ketenangan saat aku menatapnya. Hidungnya yang mancung, Rahang dan dagunya terlihat sangat tegas. Sosok yang ku bayangkkan itu kemudian hadir melewatiku dan menyadarkan aku dari lamunanku. Cowok itu datang dan langsung menduduki bang paling belakang.
Mata kami sempat bertemu sesaat sebelum ia melepaskan pandangan matanya dariku. Seakan-akan kejadian kemarin malam itu bukan apa-apa. Muungkinkah cowok itu terlalu mudah melupakannya karena ia senantiasa sering memlakukannya bersama cewek-ceweknya yang lain? Mengapa aku berbanding terbalik dengannya? Sejak peristiwa semalam itu sosoknya selalu melekat didalam pikiranku. Suara beratnya yang memanggil namaku, jemarinya yang begitu besar yang memegang jemariku. Aku bahkan tidak bisa melupakannya saat ia meraih tubuhku kedalam dekapannya yang begitu hangat.
Ya Tuhan! Keluhku dalam hati. Mengapa dia sekarang seperti sosok yang tak aku kenal? Mengapa dia sekarang berbeda? Bukankah dia sosok manis yang membuatku merasakan sentuhan bibirnya?Apa semuanya yang terjadi tadi malam hanya unga tidurku? Mengapa semuanya berubah hanya dalam hitungan jam. Sudahhla tak seharusnya aku memperhatikan cowok yang sudah menjadi kekasih sahabatku sendiri. Kesalahanku terlalu banyak semalam karena tidak dapat mengontrol diri sendiri.
Aku terperanjat. Otakku tak bisa menangkap semua pelajaran yang diberikan saat itu Diam-diam mataku  kembali sibuk menatap sosk itu dan membantah semua larangan diotakku.Sialnya aku malah merindukan tatapannya yang  biasa ia berikan kepadaku seperti kemarin. Aku tak memperdulikan waktu yang semakin berjalan meninggalkan ku yang masih terpaku menatapnya.
Aku begitu menikmati sosok pandangan itu. Memperhatikan belahan bibirnya yang tadi malam kurasakan. Dia masih pria yang sama yang menciumku dan membuat sensasi yang luar biasa hebat hingga jantungku berdegup cepat. Namun sikapnya jauh berbeda. Aku tak mengenalinya. Ia tidak memperhatikan aku sejauh aku memperhatikannya.
Pelajaran berakir. Aku merapikan bukuku yang berserakan dimeja dan memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba jemari besar memegang tanganku. Dan terdengar suara beratnya. “Sha?”
Demi Tuhan apakah otakku sedang konslet atau apa. Mengapa aku mendengar suara beratnya lagi? Apakah aku sedang mengigau? Ternyata semua nyata. Sosoknya sudah berdiri dibelakangku memegang lenganku saat ku menoleh kebelakang.
Segera kulepaskan pegangannya “Apa?!” Teriakku sinis.
“Kamu kenapa? Marah karena kejadian kemarin?” Tanyanya masih dengan tatapan polos dan lugunya
“Bukan urusanmu. Urusi saja urusanmu dengan pacarmu.”
“Oh ya? Benarkah? Haruskah aku percaya pada laki-laki yang sudah mempunyai cewek dan seneng mempermainkan perasaan orang?”
“Apakah sejak peristiwa kemarin kau masih menganggapku mempermainkan perasaanmu? Aku sudah putus dengannya, Sha. Aku tak mungkin berciuman dengan cewek disaat aku statusku masih berpacaran dengan cewek lain. Aku bukan pria yang dengan mudahnya berganti-ganti  topeng dan bilang sayang kesemua cewek.”
“Sayangnya aku gak percaya lagi. Sudah cukup kebodohanku selama ini. Aku tahu selama ini aku hanya tempat pelarian kamu saja kan? Yang kamu cintai dia bukan aku.”
“Kalau aku mencintainya aku. Tak mungkin kejadian semalem itu terjadi. Demi Tuhan aku belum pernah mencium cewek lain selain kamu.”Maaf.” Ucap pria itu lagi sambil setengah berbisik.
“Entahlah, Din. Seharusnya aku marah. Aku tak tahu apa aku harus mempercayaimu atau tidak. Harusnya kejadian semalem gak boleh terjadi. Kamu sudah memiliki...
“Sudah Ku bilang aku sudah putus dengannnya. Aku sudah memutuskannya setelah aku memuutuskan untuk mencintaimu. Aku sudah capek, Sha berpura-pura mencitai Risa. Aku tidak mencintainya. Yang aku cintai kamu. Bukan Risa. Aku yakin kamu juga merasakan hal yang sama. Tapi mengapa kamu terus menyuruhku mencintainya karena semata-mata kamu takut mengecewakannya tanpa kamu peduli sebenarnya bukan hanya kamu yang terluka, tapi aku juga.”
Aku terdiam.  Bibirku terkunci.
“Risa sudah tahu semuanya. Dan kurasa ia lebih baik tahu sekarang. Sebelum ia semakin mencintaiku dan ini akan semakin menyakitkan baginya.”
Aku tercekat. Tenggorokanku tiba-tiba terasa sakit. Mataku memanas. “Risa tahu? Pliiss Din. Kembalilah Ke Risa...
“Cukup,Sha. Risa sudah cukup dewasa untuk bisa mengikhlaskannya. IA sadar perasaan tak bisa dipaksakan. Sekarang kenapa kamu masih seakan tak mengerti hal itu?”
Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam tanpa bisa kujawab pertanyaan yang ia lontarkan. Pria itu masih menatapku termangu. Sesaat suasana hening.
Ia kemudian memegang lenganku. “Aku mencintaimu Sha. Sudah bisakah kamu mempercayainya? Bisakah kamu tidak munafikan semua cinta yang ada dihatimu?” Tatapan mata itu beursaha meyakinkanku.
Aku masih tak kunjung lepas dari diamku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Nafas dan lidahku sama-sama tercekat ketika cowok bermata hangat itu mendekatkan tubuhnya yang tak bisa ku elakan.
“Ini masalah perasaan yang Cuma bisa dirasakan oleh hati. Seharusnya kamu dapat merasakanya, Sha.” Cowok itu membisikan suaranya ketelingaku. Aku dapat mendengar deru naasnya dan merasakan pelukannya yang masih sama dengan yang semalam kurasakan.
Sesaat aku tersadar dan melepaskan tubuhku. “Ini gak seharusnya terjadi, Din. Cinta mu seharusnya mencintai Risa bukan aku.”
“Sudah berulang kali aku bicara padamu, Sha. Aku hanya mencintaimu. Selamanya Cuma kamu, Sha.  Cinta ini gak salah. Baiklah kalau kamu tak percaya. Aku akan membuktikannya. Dan aku yakin ini bukan cinta yang salah.”
Aku tak tahu apa yang barusan ia katakan. Sejak perkataannya tu sosoknya tak pernah lagi muncul. Aku gak pernah tahu bahwa kejadian saat itu adalah pertemuan terakhirku dengannya.  Ia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Amerika. Begitu yang ku dengar.
Dimana kamu,Din? Aku merindukanmu.

                                                                                                ***

                Tiga tahun kemudian.
Aku masih sibuk menatap layar monitor laptopnya.  Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sampai tak memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang memadati cafetaria itu.  Bahkan Aku tak menyadari sesosok pria yang datang tiba-tiba dan mengambil tempat duduk didepaku .
 Pria itu tak sedetikpun mengalihkan pandangannya dari sosok cantik yang saat ini duduk didepannya.
“Kamu masih sama kayak yang dulu, Sha.” Terkejut mendengar namaku disebut dengan suara yang tentu saja sangat kurindukan. Akupun menoleh kearahnya. Dino.
Pria itu memelukku. Tak pernah ku merasa sehangat ini semenjak kepergiannya yang meninggalkanku dalam sepi.  Aku benar-benar merindukannya.
“Aku Dino. Pria yang telah membuktikan bahwa cintanya tak pernah salah. Mohon diingat dalam ingatanmu, Sha.
Aku mengangguk pelan dan membisikan kata-kata yang sempat diucapkannya tiga tahun yang lalu. Kata-kata yang masih terekam jelas dalam memori ingatanku. “Aku Mencintaimu, Din. Maafkan aku.”

Dan seketika akupun tersadar dari kesalahanku. Cinta memang tak pernah salah dan tak bisa dipaksakan. Aku memang menyayangi sosok pria ini dalam hati kecilku, bahkan mencintainya. Dia memang berbeda. Karena itu aku menyebutnya cinta.