Total Tayangan Halaman

Selasa, 01 Juli 2014

Ini Kisahku

Mungkin, gak banyak orang yang percaya dengan apa itu cinta pandangan pertama. Seperti kata pepatah kebanyakan. “Kita baru benar-benar bisa kehilangan, ketika kita sudah benar-benar memilikinya” begitu juga dengan kepercayaan “Kita benar-benar akan percaya ketika kita benar-benar merasakannya.”
Setiap orang memang memiliki kisah cintanya masing-asing. Begitu juga setiap hati akan selalu memiliki nama didalamnya.Ini kisahku yang membuat aku percaya dengan apa itu cinta pada pandangan pertama dan apa itu arti mencintai dalam kediaman.
                                                ***
Saat itu aku asih duduk di kelas XI SMA. Aku penyendiri dan tak terlalu suka dengan keramaian. Hari-hariku disekolah begitu monoton. Kalua tidak membaca buku dikelas, ya aku membaca buku diperpustakaan. Hingga suatu ketika aku menemui sosoknya. Cowok yang biasa aku panggil dengan sebutan,”Tuan” karena sampai saat ini masih dia Tuan hatitku.
Dia ketua Osis. 
Saat itu entah aku yang terlalu kuper sampai-sampai tak pernah melihat wajah ketua Osis sekolahku atau karena aku kurang perduli dengan dunia luar sekolahku kecuali pelajaran. Hari itu di perpustakaan sekolah pertemuan awal itu terjadi.  2 November. Aku ingat betul tanggal itu. Tanggal dimana saat itu menjadi saksi dulu kita pernah kenal bahkan sempet dekat.
Saat itu aku tengah berjalan tergopoh-gopoh meninggalkan perpust , mendengar suara bel masuk kelas berbunyi. Tanganku dipenuhi dengan tumpukan buku yang belum ku baca. Terburu-buru, terpontang-panting, dan ter-ter lainnya menyebabkan aku berlari sekencang-kencangnya dan tanpa melihat-lihat lagi.
BRUKKK..
Tabrakan kecil itu membuat bukuku dan bahkan aku ikut terjatuh. Sosokmu kulihat samar-samar tanpa kacamataku. Kamu menjulurkan tangan besarmu dan membantuku berdiri. Setelah itu kamu berjongkok dan membereskan semua  bukuku yang jatuh berserakan kemana-mana. Aku membetulkan kacamataku lalu membantumu memunguti kertas-kertas yang berserakan yang jatuh dari bukuku.
“Nih, buku lo.” Ketika kamu selesai mengambil beberapa bukuku dan menyerahkannya kepadaku. Saat itu untuk pertama kalinya aku melihat wajahmu dengan jelas. Mata sipitmu, kulitmu dan putih dan wajah orientalmu masih tergambar jelas dalam ingatanku.  Aku masih bengong sepersekian detik untuk meyakinin diriku kalau yang sekarang berada dihadapanku bukan aartis korea JUNG ILL WOO atau LEE MIN HOO.
Sesaat moment-moment seperti difilm-filmpun terjadi. Gadis cupu bertabrakan dengan cowok ganteng. “OH GOD, Apa yang harus aku lakukan?”
“Malah bengong. Ini buku lo.” Ucapnya keras dan membuatku tersadar.
“Eh sorry. Eh makasih.”  Ucapku. Membuatku meronta dan memaki diriku sendiri. Mengapa disaat-saat begini aku malah memperlihatkan kebodohanku.
“Iyaa gak apa. Gue tahu lo pasti lagi buru-buru masuk kelas.”
Demi Tuhan aku menepuk jidatku sendiri, bahkan aku sampai lupa aku udah telat masuk kekelas. “Iya.” Kataku buruburu berlari kekelas.
Aku kira hari itu pertemuan terakhirku dengannya. Aku kira pertemuan kami hanya kebetulan semata. Mana mungkin aku dan dia bertemu lagi, ya meskipun dalam lingkup satu sekolah. Laki-laki macam dia mana mungkin melirikku. Dunia kita berbeda.
            Nyatanya perkiraanku salah. Hari itu aku yakin pertemuan kita rencana Tuhan,  bukan kebetulan semata.  Pertemuan kedua kita juga masih dilatar tempat yang sama_ Perpustakaan. Bedanya saat ini bukan lagi diluar perpustakaan, tapi didalam perpustakaan.
Saat itu aku sedang berada dideretan barisan buku psikologi. Mataku terpaku pada sebuah buku didereta atas.
Tinggi sekali. Aku terus memikirkan cara untuk mengambilnya. Tak mungkin aku menggunakan kaki mungilku, kalaupun aku jinjit tetap saja tidak sampai. Kalau jinjit tidak sampai kenapa tidak melompat saja pikirku. Akupun melompat dan menjulurkan tanganku sepanjang mungkin untuk meraihnya, namun aku kalah cepat sepersekian detik oleh satu tangan besar yang telah mengambil buku itu lebih dulu.
“Nih, tadi lo mau ngambil buku ini kan?” Cowok itu kemudian memberikan buku itu kepadaku. Sementara aku dengan tmapang sapi ompong hanya menatap bengong cowok itu
“Eh kok malah bengong? Emang lo ini hobinya bengong ya?”  Iapun tertawa kecil
“Eh maaf. Makasih ya udah ngambiliin gue buku.” Ucapku sedikit gelagapan.
“Nope. By the way ini udah kedua kalinya kita ketemu  tapi gue belum tahu namma lo. Gue Evan. Evan Erlangga.” Cowok itu mengulurkan tangannya kehadapan aku lalu tersenyum. Demi Tuhan. Kalau ada orang yang paling ganteng yang pernah ada dibumi ya Cuma dia.
Aku menyambut uluran tangannya.“Gue Agnes setevani. Panggil aja Agnes.” Ucapku  sambil  berusaha mengeluarkan senyuman semanis mungkin.
Begitulah perkenalan kami terjadi. Begitu singkat tanpa banyak basa-basi, tapi cukup mengesankan dan punya arti tersendiri untukku. Dan pada saat itu hati aku hanya terisi sebuah nama. Evan Erlangga. Perkenalan singkat itu berbuah lebih lanjut. Kita yang tadinya belum begitu saling mengenal menjadi dua orang sahabat bagi kami, mungkin lebih bila orang lain yang memandang. Enahlah kedekatan kami itu harus disebut apa.
Aku mengingat sekali tak ada status yang menamai kedekatan itu. Kedekatan itu hanya berlandaskan sebuah kenyamanan. Semua perkataanmu yang kukira tulus membuatku benar-benar percaya bahwa kamu adalah sosok yang tepat. aku mulai berpikir untuk tidak pernah menyia-nyiakan kebersamaan kita. Kamu humoris dan manis. Kedua hal tersebut mungkin tersebut tidak bisa diartikan sebagai alasan hadirnya cinta. Mungkinkah aku hanya terjebak dalam ketertarikan semata? .
Malam itu aku mendapat semua jawaban tentang rasa yang selama ini mengendap dihatiku. Aku tak dapat memunafikannya lagi. Ya aku jatuh cinta dengannya dari pandangan pertama kita sampai sekarang. Aku selalu ingat pesan-pesan manisnya yang ia sisipkan setiap malam hanya untukku. Aku juga ingat suara beratnya yang selalu menggantung di atas telepon.
Kamu berbeda dari yang lainnya. Itulah yang membuatku mencintaimu. Mencintai dengan tulus dalam diam tanpa meminta sebuah penjelasan saat itu sudah cukup untukku.. Aku takut ketika aku bilang cinta kepadamu kamu malah menjauh.
Aku tak mengetahui sebelumnya kalau kediamanku itu adalah salah. Sampai saat itu tiba. Kamu memperkenalkan dia kepadaku.

Gadis itu cantik, tinggi, putih, dan manis. Mungkin itulah yang membuatmu beraling dariku. Sosok gadis itu sepertinya begitu kuat dihatimu, sementara aku? Aku hanya sahabatmu, tempat persinggahanmu, tempa curhatmu,  tidak lebih. Terlalu bodoh bagiku untuk berharap lebih. Jadi biarlah begini saja. Ini akan jadi akhir kisah cinta pada pandangan pertamaku. Andai dia tahu bahwa sampai saat inipun hatiku masih menyimpan jejak goresan namanya.
                                                                                        
                                                                               Dari seseorang yang perjuangannya tak kasat mata olehmu

Senin, 05 Mei 2014

Kamu dan Aku dalam Rintik Hujan

             Hujan rintik-rintik kala itu menaungi kota Jakarta. Senja hari yang disinggahi hujan membuat Risa mempercepat langkahnya dan segera berteduh. Risa memeluk tubuhnya yang mendingin karena terguyur rintik hujan sambil mengadahkan kepala agar bisa menatap hujan dan awan yang mendung. Risa terlalu asyik menatap bunyi tetesan air hujan yang terdengar lembut  hingga tak menyadari kehadiran seorang pria yang membuatnya tidak sendirian lagi berteduh diitempat itu. Pria itu berambut lurus hitam yang dipotng model shaggy. Rambutnya sedikit basah dan berantakan karena terguyur air hujan.
          Jalanan di dekat sana memang agak  sepi. Sedikit sekali mobil bis yang lewat. Sedari tadi menunggu, Risa masih belum mendapati bis yang ia cari dan masih berteduh disana. Sesekali ia mencuri pandang kearah pria itu, pria yang sedari tadi berteduh disana juga sambil memeluk tubuhnya yang kedinginan. Risa tersenyum setelah melihat ke ujung jalan. Beruntung sekali dirinya, karena biasanya bis jarang sekali lewat di jalan kecil ini. Hanya beberapa dan pada waktu tertentu saja. Ia segera memberhentikan bis tersebut dan masuk kedalamnya. Pria itu menyusul dibelakang. Rupanya pria tersebut dari tadi juga menunggu bis yang jurusannya sama dengan Risa.
           Tempat duduk hanya tersisa dua lagi. Risa buru-buru menduduki kursi kosong yang tersisa.
          "Kamu mau ke Tanah Abang juga?" Suara berat itu berasal dari sebelah Risa. Suara itu membuat Risa menoleh keasal suara. Ternyata pria itu. Pria yang menunggu dihalte tadi bersamanya.
           "Iya." Ucap Risa.
            Percakapan itu begitu singkat, namun wajah dan suara pria itu ada disaringan otaknya. Sejak hari itu. Pria itu menjadi sosok yang tak pernah terlepas diingatannya.
                                                                ***
            Untuk kedua kalinya, Risa kembali menggerutu lagi. Ia lupa membawa payung kecil yang biasa ia masukan ke dalam tasnya. Kali ini di jalanan itu lagi. Senja dan hujan ini membawa ingatannya ke sosok pria itu lagi. Ia sibuk menatap hujan dengan pikirannya.
             Setelah setengah jam menunggu, bis itu belum tiba dan hujan masih juga belum reda.
              'Ya Tuhan gimana bisa pulang?' keluhnya.
             Derap langkah itu terdengar semakin dekat. Risa yang dari tadi mengeluh ditengah kesendiriannya tiba-tiba berhenti. Ia tercengang melihat sosok yang datang itu. Sosok itu sudah tepat berdiri sejajar disampingnya. Tanpa banyak basa-basi, pria itu menyodorkan payung kearah Risa.
                "Mau nyari halte bis ke Tanah abang kan?" Ucap cowok itu dengan sura tipis.
                Risa tak segera menjawab. Perasaannya masih tak keruan. Merasa diabaikan pria itu mengulangi ucapannya lagi. "Mau bareng?"
              RIsa segera membuka mulutnya dan menjawab "boleh" sambil mengangguk malu-malu.
                Mereka berjalan lambat-lambat dan merapat. Tak ingin melihat cowok itu memegang gagang payung sendirian, tangan mungil Risa meraih gagang payung tersebut. Tangan mereka bersentuhan dan pada saat yang sama mata mereka bertemu pada satu titik. Terlihat seulas senyum samar diwajah mereka masih-masing. Hening.
            Sang waktu yang bekerja kemudian dengan ajaibnya mengubah keheningan diantara mereka menjadi sebuah percakapan manis. Percakapan yang lebih panjang dari percakapan awal mereka. Selama bicara, sungguh Risa tak kuasa menatap mata itu. Mata pria yang barusan bertemu dengan matanya itu membuat sensasi perasaan yang berbeda yang menyusup kehatinya. Perasaan yang tak tahu harus ia namakan apa.
                                                        ***
             "Kamu mau kemana, ndra?" Tanya Risa penasaran.
             "Kesuatu tempat. Udah ikut aja."  Risa hanya menurut . Dan hanya mampu menahan napas ketika ia memakaikan sebuah helm putih di kepalaku. Menyuruhnya  naik di belakangdan...berpegangan padanya. Hal yang biasa ia lakukan, memeluk sosok didepannya itu dan melalui jalan sepanjang apapun dengan motor vixion hitam yang saat ini mereka naiki.
          Hujan. Hari itu hujan. Risa  ingat betul. Karena sekarang, setiap hujan turun, sekelebat kepingan kenangan itu muncul ke permukaan pikirannya. Selalu berhasil membuatnya tersenyum tipis. Motor itu tetap berjalan ditengah rintik hujan dan membiarkan hujan membasahi tubuh mereka.
         Tepat disatu jalan kecil mereka berhenti dan berteduh.
        "Kamu masih ingat tempat ini?"  Tanya Andra.
        Risa hanya tersenyum lebar. Tatapannya mengaarah ke arah coretan disebuah pohon besar disampingny. 'AR' begitulah coretan yang terukir dibatang pohon besar itu.
        "Happy Annivesary sayang" Bisik Andra pelan ketelinga Risa seakan takut suaranya dikalahkan dengan derasnya hujan kala itu. Risa masih terus memandangi ANdra dengan perasaan senangnya. Sunnguh indah. Semua begitu manis. Pria ini membuatnya benar-benar merakan manisnya cinta. Mereka saling bertatapan sebelum akhirnya RIsa memejamkan kedua matanya ketika Andra mengecup lembut keningnya.
           "Makasih ya, sayang. Happy annivesary one year,dear. Hope we will be forever." Bisikku padanya.
              "Sekarang dan mudah-mudahan selamanya, aku akan mencintaimu, Ris." KAta-kata itu selalu diingat RIsa. Kata-kata sederhana, bukan sebuah janji yang terkadang hanya sekedar diucapkan oleh kebanyakan orang, namun kata-kata itu bermakna lebih dari itu.
             "Pulang yuk, Ris. Ntar kebanyakan ujan-ujanan kamu sakit lagi."
             Andra kemudian memegang pergelangan tangan RIsa. Mereka kembali menaiki motor itu dan berjalan pulang.
                                                             
              Tiga tahun kemudian....

             "Tapi kenapa secepat itu sih, ndra?" Risa masih terus-terus bertanya mengenai keputusan Andra yang membuatnya heran sekaligus kecewa. RIsa tahu ini begitu egois, tapi pertanyaan terbesarnya disini adalah perempuan mana yang senang saat pacarnya memutuskan untuk meninggalkan mereka? 
               "Aku dipindahtugaskan kesana, Ris. Gak lama kok, hanya 1 tahun. Aku janji sehabis aku pulang dari Medan. Kita akan menikah. 
                "Aku gak masalahin tentang pernikahan. Aku hanya takut." Mata RIsa tiba-tiba terasa perih. Air mata yang tertahan kini terpaksa keluar. 
                "Aku kan udah pernah bilang, Ris. Aku gak suka ngelihat kamu nangis. Udahlah sayang." Tangan-tangan Andra meraih pipi mulus Risa dan mengusap lembut bulir air mata yang berjatuhan dipipinya.
                "aku takut kehilangan kamu,ndra." Ucap Risa lirih
                "Aku gak akan meninggalkan kamu, RIs. Aku janji. Ini cuma sementara." ANdra memegang lengan Risa dan menatapnya penuh dengan keyakinan.
                "Kamu tahu kan? Hubungan LDR itu gak akan bertahan lama. Aku gak mau kita LDR'an." 
                "Ris, Ini cuma masalah jarak dan waktu. Percaya sama aku dua hal itu dan akan mungkin jadi pemisah kita saat kita benar-benar saling cinta, ris."
    Pada akhirnya Risa hanya mengangguk lemah. Ia benar-benar ikhlas merelakan pria yang sudah tiga tahun bersamanya ini harus pergi. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hari yang akan ia lalui tanpa pria itu. Berulang kali ia meyakinkan dirinya bahwa ini hanya unuk sementara. Ia berusaha berpikir kalau ini hanya sebuah cobaan kecil yang harus ia lalui supaya ia bisa hidup dengan Andra selamanya. Ia yakin Andra begitu mencintainya dan tidak akan mungkin mengakhiri hubungan mereka.
      "Aku pulang ya, Ris. Udah malem. Lagian kamu harus banyak istirahat. Gak usah banyak pikiran ya, Ris. Percaya ya sayang. Kita akan baik-baik saja." Dinopun pergi meninggalkan Risa yang duduk terdiam diruangan tamu itu. Ia menatap punggung cowok itu yang kemudian menghilang. Tangis Risa pecah. PErasaan dalam hatinya kini keluar semua. Sesak. Itulah yang sedari tdi ia rasakan. Risa merasa akan kehilangan sosok ANdra untuk selamanya
                                                     ***
                                    
Hari ini hujan. Andra meninggal. Risa membiarkan air matanya tumpah ditengah derasnya hujan. Saat itu juga alam semesta seperti mersakan luka dihati Risa. Luka yang menganga lebar di hatinya. Seluruh hatinya seakan ikut terkubur bersama sosok cowok itu. Miris. Itu satu-satunya kata yang tepat untuk menggambarkan hidupnya. Mengapa begitu cepat Tuhan mengambil sosok Andra yang baru saja ia lihat. Ia benar-benar tidak menyangka malam iitu akan menjadi hari terkahirnya untuk melihat Andra. Andra benar-benar pergi, bukan pergi ke Medan untuk sementara, tapi ke surga untuk selamanya.  Miris. Itu kata-kata yang tepat baginya. Ia benar-benar tak bisa menyangka kecelakaan maut itu bisa terjadi. Semua ini bagaikan mimpi  buruk. Terutama saat-saat dimana Andra mengucapkan namanyanya dan berkata 'love u' didetik nafas terakhirnya. Ia belum bisa merelakan sosok pria yang sangat berharga dalam hidupnya itu pergi selamanya.
                                                  *** 
Gadis itu menaruh seikat bunga yang ia rangkai sendiri dan meletakannya dibawah batu nisan putih yang bertuliskan nama "Andra Irawan". Ia menatap rintik hujan yang membasahi gundukan tanah yang tertancap batu nisan . Hujan seakan mempunyai arti tersendiri baginya. Hujan sebagai pembawa kerinduannya sekaligus airmatanya. Hujan adalah saat dimana ia harus merasakan sebuah kehilangan. Tak terhitung sebanyak apa airmatanya yang telah menetes bersamaan dengan tetesan air hujan. Selalu saja, hujan mengingatkannya kepada sebuah cerita. Cerita yang kini menjadi kenangan baginya. Kenangan bersama seorang pria yang sederhana, sesederhana cintanya pada pria tersebut. Bukankah cinta itu adalah satu hal sederhana karena itu ia terlalu rumit untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Pria itu mengajarinya banyak hal, tertawa saat hujan, menangis saat hujan, dan satu hal terpenting yang pria itu ajari adalah mencintai seperti hujan yang akan sealu ada untuk membasahi bumi karena ia tak ingin bumi kekeringan, bahkan hujan selalu meninggalkan keindahan untuk bumi sesaat setelah ia pergi. 
Hujan kali ini sangat deras sekali sederas rindu yang melanda hati Risa.
"Happy annivesary 4 tahun sayang. I miss you so much." 


               
          
              
      
         

Jumat, 02 Mei 2014

It's (not) Love for Me and You

                Aku menatap matanya dalam diamku. Memperhatikan tiap lekuk bibirnya yang berbicara.  Suara beratnya itu sudah beberapa hari ini ku rindukan. Matanya yang sipit, kulitnya yang putih dan senyumnya yang selalu tersirat dibibir tipisnya itu membuatku memandang sosoknya dengan perasaan berbeda. Aku tahu kita hanya teman. Tapi mengapa terkadang aku merasa diantara kita lebih dari sekedar teman.
               William menatapku lekat-lekat sambil mengayunkan tangannya kehadapanku. "Nes, jadi gak kita hari ini karokean? Nanti gue ngajakin Garret, terus lo ngajakin Septa."
               "Liat nanti,ya. Septa itu orangnya mood-mood'an. Nanti gue usahain."
               "Payah si Septa mah. Padahal SWAG kan udah lama gak ngumpul."
Begitu ucapnya ringan. AKu tahu sebenarnya itu hanya salah satu alasannya saja untuk menutupi gengsinya yang bilang kalau ia sedang bosan di kost melulu sebulanan ini. Alasan yang bagus dengan membawa nama SWAG. SWAG nama kelompok kami yang beranggotakan Septa, William, Agnes dan Garret. Ya benar sebenarnya SWAG itu nama singkat kita berempat saja.
               Aku tersenyum kecil " Bilang aja lo bosen di kost, Wil. Ya udah ntar gue jadiin lah. Eh gue balik kelas dulu, Ya?" Akupun membalikan badanku dan hendak melangkah pergi. Namun tangan-tangan besar itu menggengam erat lenganku. Akupun terpaksa berbalik lagi. Dan kita pun bertatapan cukup lama sebelum ia melepaskan tangannya dan berkata "Jangan lupa, Ya."
                                                                          ***
              Dan dia menatapku seperti itu lagi. Tatapan mata yang membuat aku selalu merasa nyaman disana. Meski aku tak tahu apakah itu tulus dan berati cinta? Demi Tuhan. Aku berulang kali menepis perasaan ini. Sebenarnya sudah dari seminggu yang lalu aku merasa ada perasaan aneh yang terjadi saat aku dekat dengan William. Berulang kali aku menyadarkan diriku dalam mimpi. Aku sama William itu sahabatan 2 tahun. Aku pasti sudah benar-benar gila kalau sekarang aku menyukainya.
           Otakku melayang kesana-sini dan aku sedari tadi hanya diam, tidka bernyanyi. Bahkan memilih lagu saja tidak kulakukan. Dan sekarang ruangan karokean ini sedang bersuarakan nyanyian "Pelangi dimatamu" Jambrud. Aku mendengarnya. Suara berat William menyanyikan lagu itu.Tanpa sadar suaranya menarik hasratku untuk melempar tatap kearahnya. Ia membalas tatapan ku. Lagi-lagi aku menemukan tatapan itu lagi. Tatapan yang membuatku berhenti berkutik dan hanya bersembunyi dalam kebisuan.
              "Ada yang lain disenyummu yang membuat lidahku gugup tak bergerak .Ada pelangi dibola matamu yang memaksa diriku. Tuk bilang Aku sayang padamu."  William bergerak memegang tanganku dan berjongkok dihadapanku. Membuat aku sedikit terkejut sekalipun kikuk. Kalaupun ini hanya candaan atau gurauan darinya. Ini benar-benar tidak lucu. Tapi terlalu so sweet. Pada akhirnya Garret dan Septa segera mengabadikan adegan "Sok Romantis" ini didalam handphonenya. Demi seluruh alam jagad raya napasku saat ini benar-benar tercekat. Tingkahnya yang semingguan ini selalu begitu romantis dimataku membuatku semakin merasakan tak keruan. Harusnya aku sadar kini aku mulai mencintainya.

              Semenjak peristiwa romantisme dikaroke itu hubungan aku dan William semakin dekat. Kami sering berdua. Ngobrol berdua, kekantin berdua, jalan berdua. Sampai kami dinner berdua di kafe itu. Kafe yang sampai sekarang membuat aku selalu teringat sosok dari laki-llaki itu.
               Hari ini setelah dinner yang menurutku tidak jauh dari kata romantis itu berakhir. Malamnya aku berpikir seharian. Aku melakukan kebiasaan kecilku. Menatap langit sambil memandang keindahan Sang Luna dari teras kost aku. Wajah itu muncul lagi. Sudah sangat sering wajah cowok itu muncul dimimpiku, di lamunanku, dan sekarang dimalamku. Kali ini aku sudah benar-benar gila. Ya, aku Gila karena aku telah mencintaimu.
               DRTTEETTTEERRTTT
               Suara getar hapeku terdengar. Akupun mengangkat panggilan masuk di hapeku
               "Halo?"
               " Halo." Suara beratmu terdengar diujung telepon. Aku benar-benar sudah hapal sura itu.
               "Kenapa,WIl?" Tanyaku senang sekaligus penasaran.
               "Lagi sibuk?" Ia balik bertanya.
               "Gak, kenapa?" 
               "Lagi ngapain?" 
               "Bernapas." Jawabku bohong. Sebenarnya justru saat ini aku merasa bernapas adalah hal yang paling susah untuk dilakukan. Diujung telepon terdengar tawa renyahnya.
               Pembicaraan melalui telpon itu terjadi selama 6 jam. Aku juga gak tahu apa yang menyebakan pembicaraan kami sangat lama. Tanpa kami sadari waktu sudah menunjukan pukul tiga subuh. KAlau saja aku tidak mengingat besok tidak libur, mungkin saat ini teleponan itu masih berlanjut. DIa bercerita banyak. Dia bercerita tentang mantan kekasihnya dan semua gadis-gadis yang dia incar. Aku bisa merasakan perasaan yang  ia rasakan. Aku merasa benar-benar percaya dengan semuanya dan benar-benar telah mengerti bahwa  dia hanya butuh seseorang wanita yang mengerti dirinya Sebenarnya, aku sudah memberi perhatian itu tanpa dia ketahui. Mungkinkah perhatianku yang sering kuberikan tak benar-benar terasa ? 
           Ternyata telepon semalam itu bukan telepon yang terakhir. MAsih ada bunyi getar darinya setiap malam. Aku selalu mendengar ceritanya lagi. Hatiku bertanya-tanya, seorang pria hanya menceritakan perasaannya pada wanita yang dianggap dekat.Aku bergejolak dan menaruh harap. Apakah dia sudah menganggap aku sebagai wanita spesial meskipun kita tak memiliki status dan kejelasan? Senyumku mengembang dalam diam, segalanya tetap berjalan begitu saja, tanpa kusadari bahwa cinta mulai menyeretku ke arah yang mungkin saja tak kuinginkan.
                                                               ***
           "Nes, Willliam sakit." Suara Lia membuatku berhenti mengunyah roti isi yang baru saja aku beli dari kantin. Wajah Septa benaran serius, tak ada garis-garis yang meunjukan keluar dari sedang bercanda. Lagipula, Septa memang teman sekelasnya William. Akupun percaya kepadanya dan berjalan kekelasnya melihat kondisi William. 
          Disana cowok itu sedang duduk dengan kepalanya yang diletakan diatas meja. Wajah putihnya  kini terlihat pucat pasi.    
           "Ini gara-gara nelepon cewek sampe jam 3 subuh." Ucap Garret. Aku tahu itu menyindirku. Namun aku menggubrisnya. Aku malah dengan reflek mengarahkan tanganku kedahinya.
          "Minum obat. Pulang ntra istirahat ya." Ucapku singkat.
                                                              ***
            Aku kembali menekan keypad blackberryku dan mencari contact nama William kemudiuan mengetik pesan singkat yang berbunyi
           Minum obat terus Istirahat. Awas klo gak.
           Selang beberapa menit pesan singkatku dibalas. 
           Ciee yang perhatian
           Akupun membalasnya lagi.
           Pede mau mampus lo
           Diapun mengirimi balasannya. Ya udah kalau gak mau ngaku. Yang jelas sakit gue membawa berkah.
          Aku mengernyitkan dahiku saat membaca balasan darinya 
           Berkah apa? Begitulah balasan yang aku kirim
          Kali ini saat aku membuka handphone senyumku berkembang dengan sendirinya saat membaca Ada bidadari cantik yang megang dahi gue.
          semenjak itu kita berubah. Aku dan dia tidak pernah bertegursapa lagi ketika bertemu tatap muka. Hanya sesekali menatap dan tersenyum penuh arti. Ketika berbicara di telpon dan BBM, kita begitu bersemangat, aku bisa merasakan semangat itu melalui tulisan dan suaranya. Sungguh, aku masih tak percaya segalanya bisa berjalan secepat dan sekuat ini. Aku terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini bukan cinta. . Aku berusaha memercayai bahwa perhatiannya, candaannya, dan semua ucapannya adalah dasar nyata pertemanan kita. Ya, sebatas teman, aku tak berhak mengharapkan sesuatu yang lebih.
Nyatanya...Perasaanku tumbuh semakin pesat, bahkan tak lagi terkendalikan. Siapakah yang bisa mengendalikan perasaan? Siapakah yang bisa menebak perasaan cinta bisa jatuh pada orang yang tepat ataupun salah? Aku hanya manusaia biasa yang mempunyai hati. Sama aku juga butuh tempat sandaran hati. Hingga kau hadir dan membuat hatiku merasa nyaman. Namun aku hanya seorang wanita yang takut kehilangan sosok yang tak akan pernah dapat ku miliki. 
Hingga akhirnya kau berhasil meruntuhkannya. Semua tembok ketidakpercayaan itu runtuh seketika. Aku mempercayaimu. Aku terpaksa mengaku dan percaya ini cinta. Itulah kebodohanku. 
                                                  ***
Suara getar handphone ku terdengar lagi. Sepertinya teleponan setiap malam dengannya sudah menjadi jadwal rutinitas bagiku.
"Hi,nes. Lagi ngapain?" Suara beratnya terdengar parau.
"Lagi gak ngapa-ngapain. Kamu?" Barusan aku mengucapkan kata "kamu" karena sekarang kata aku, kamu dan sayang sering sekali meluncur di percakapan kita.
"Lagi mikir."
"Mikir apa?
"Rahasia."
" Seriusan apa? Temanya?" Tanyaku penasaran
"Mauunya? Ya udah deh. Temanya Percaya."
"Ihh maennya rahasia-rahasiaan sekarang. Mikirin gue kan ?" Ucapku becanda tapi berharap
"Keturunan mama loren ya? Gue lagi mikir gimana buat lo percaya." Nada suara William terdengar serius.
"Percaya apaan?" Tanyaku 
"Yang semalem." Ucapnya singkat. Ia berharap aku mengerti kode darinya.
"Yang mana? Tanyaku pura-pura tak mengerti.
"Aku serius aku sayang sama kamu, Nes.." Ucapnya lirih. 
"Aku juga serius. Pasti lo juga ngucapin hal ini sama Stella."
"Gue sukanya sama lo. Gue udah gak suka sama dia lagi. Kapan sih lo percaya? Gimmana cara gue biar lo percaya?"
Lidahku kelu dan aku tak tahu harus menjawab apa. Akhirnya lidah ini mengucapkan satu hal yang sampai sekarang aku sesali.  Aku benar-benar merasa menjadi wanita paling munafik yang ada.
"Jauhin gue. Jangan bersikap kayak gini lagi ke gue. Lo harusnya sama Stella. Lo sama dia cocok banget. Lo bohong kalau lo gak suka sama dia." Akupun menghela napas yang panjang setelah mengucapkan itu semua. Aku berusaha menahan air mataku dan konsistensi suaraku agar tidak terdengar serak karena mengangis.
"Kalau gue sama Stella. Lo bener-bener bahagia, Nes?" 
"Iya. Gue selalu bahagia lah kalau sahabta guue bahagia. Stella dan lo itu kan sahabat gue."
" Oh. Oke kalau kayak gitu" Ucapnya singkat. Sesaat suasana menjadi hening
"Wil, udah malam gue tidur dulu ya ngantuk." Itu alasan aku karena aku tak kuasa menahan tangis yang sebentar lagi mau meledak. 
Kliikk. Teleponpun berakhir. Dan airmataku mulai menganak sungai. Ak meraung-raung ditengah malam tak berbintang. Kini semua rasa berubah menjadi abu-abu.
Ketakutanku terjawab sudah. Sosokmu pergi tanpa pamit dan alasan. Dia mulai menjauh dan mendekati Stella. Sosoknya meninggalkan begitu banyak luka dan kenangan.. Menimbulkan bekas yang teramat besar dan membuat sebuah lubang yang amat besar didalam hati yang pernah ia terobos ini. 
Setiap hari aku bisa melihatnya. Sosok dia dari balik pintu kelas. Bayangan dia dan senyum dia bersama seorang cewek, bukan aku tentunya, tapi Stella. Semenjak aku dan kamu memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri dan menjauh karena pada akhirnya dialah tuan putri yang kau pilih. Aku terus bermain dengan dunia kesibukanku untuk meluapkan semua luka ini. Dan diantara semua kertas yang berserakan dan tumpukan buku-buku yang ku  pegang sebenarnya aku tetap meridukan hadirmu.Aku berjanji untuk tegar dan berpijak pada kenyataan bahwa lebih baik begini. KArena ini bukan salahmu, juga bukan salah dia. ungkin kita memang tidak ditakdirkan bersama karena tuan bukan yang terbaik untukku dan pun sebaliknya. Terima kasih tua atas segalany. Terima kashi atas cinta yang kau torehkan dan atas luka yang akhirnya nanti akan membuatku dewasa. Dan mungkin disaat itu tiba aku sudah bisa mengenangmu kembali dengan senyuman, bukan air mata. Aku belajar banyak. Mungkin memang terkadang Penyesalan dan Kehilangan selalu datang beriringan.
         

               
           

Rabu, 09 April 2014

Kusebut Itu Cinta

Aku masih terdiam menatap langit-langit kelas  membayangkan kejadian malam itu. Kejadiaan yang masih terus menguntit otakku hingga sekarang. Aku masih mengingat wajah cowo itu dengan jelas. Bahkan kehangatan bibirnya yang menempel dibibirku masih dapat kurasakan. Malam itu kedua bibir kami yang awlanya meragu itu bertemu. Dibawah langit malam dan sorot lampu teras rumah ciuman itu tercipta dan bertahan sepersekian detik sebelum kami berdua tersadar dan melepaskannya.
Wajah Dino sekarang berputar-putar dalam otakku sesaat seketika ku mengingat peristiwa semalam. Wajahnya yang putih berbentuk oval. Alisnya yang begitu tebal yang berada diatas mata sipitnya. Mata yang selalu memancarkan ketenangan saat aku menatapnya. Hidungnya yang mancung, Rahang dan dagunya terlihat sangat tegas. Sosok yang ku bayangkkan itu kemudian hadir melewatiku dan menyadarkan aku dari lamunanku. Cowok itu datang dan langsung menduduki bang paling belakang.
Mata kami sempat bertemu sesaat sebelum ia melepaskan pandangan matanya dariku. Seakan-akan kejadian kemarin malam itu bukan apa-apa. Muungkinkah cowok itu terlalu mudah melupakannya karena ia senantiasa sering memlakukannya bersama cewek-ceweknya yang lain? Mengapa aku berbanding terbalik dengannya? Sejak peristiwa semalam itu sosoknya selalu melekat didalam pikiranku. Suara beratnya yang memanggil namaku, jemarinya yang begitu besar yang memegang jemariku. Aku bahkan tidak bisa melupakannya saat ia meraih tubuhku kedalam dekapannya yang begitu hangat.
Ya Tuhan! Keluhku dalam hati. Mengapa dia sekarang seperti sosok yang tak aku kenal? Mengapa dia sekarang berbeda? Bukankah dia sosok manis yang membuatku merasakan sentuhan bibirnya?Apa semuanya yang terjadi tadi malam hanya unga tidurku? Mengapa semuanya berubah hanya dalam hitungan jam. Sudahhla tak seharusnya aku memperhatikan cowok yang sudah menjadi kekasih sahabatku sendiri. Kesalahanku terlalu banyak semalam karena tidak dapat mengontrol diri sendiri.
Aku terperanjat. Otakku tak bisa menangkap semua pelajaran yang diberikan saat itu Diam-diam mataku  kembali sibuk menatap sosk itu dan membantah semua larangan diotakku.Sialnya aku malah merindukan tatapannya yang  biasa ia berikan kepadaku seperti kemarin. Aku tak memperdulikan waktu yang semakin berjalan meninggalkan ku yang masih terpaku menatapnya.
Aku begitu menikmati sosok pandangan itu. Memperhatikan belahan bibirnya yang tadi malam kurasakan. Dia masih pria yang sama yang menciumku dan membuat sensasi yang luar biasa hebat hingga jantungku berdegup cepat. Namun sikapnya jauh berbeda. Aku tak mengenalinya. Ia tidak memperhatikan aku sejauh aku memperhatikannya.
Pelajaran berakir. Aku merapikan bukuku yang berserakan dimeja dan memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba jemari besar memegang tanganku. Dan terdengar suara beratnya. “Sha?”
Demi Tuhan apakah otakku sedang konslet atau apa. Mengapa aku mendengar suara beratnya lagi? Apakah aku sedang mengigau? Ternyata semua nyata. Sosoknya sudah berdiri dibelakangku memegang lenganku saat ku menoleh kebelakang.
Segera kulepaskan pegangannya “Apa?!” Teriakku sinis.
“Kamu kenapa? Marah karena kejadian kemarin?” Tanyanya masih dengan tatapan polos dan lugunya
“Bukan urusanmu. Urusi saja urusanmu dengan pacarmu.”
“Oh ya? Benarkah? Haruskah aku percaya pada laki-laki yang sudah mempunyai cewek dan seneng mempermainkan perasaan orang?”
“Apakah sejak peristiwa kemarin kau masih menganggapku mempermainkan perasaanmu? Aku sudah putus dengannya, Sha. Aku tak mungkin berciuman dengan cewek disaat aku statusku masih berpacaran dengan cewek lain. Aku bukan pria yang dengan mudahnya berganti-ganti  topeng dan bilang sayang kesemua cewek.”
“Sayangnya aku gak percaya lagi. Sudah cukup kebodohanku selama ini. Aku tahu selama ini aku hanya tempat pelarian kamu saja kan? Yang kamu cintai dia bukan aku.”
“Kalau aku mencintainya aku. Tak mungkin kejadian semalem itu terjadi. Demi Tuhan aku belum pernah mencium cewek lain selain kamu.”Maaf.” Ucap pria itu lagi sambil setengah berbisik.
“Entahlah, Din. Seharusnya aku marah. Aku tak tahu apa aku harus mempercayaimu atau tidak. Harusnya kejadian semalem gak boleh terjadi. Kamu sudah memiliki...
“Sudah Ku bilang aku sudah putus dengannnya. Aku sudah memutuskannya setelah aku memuutuskan untuk mencintaimu. Aku sudah capek, Sha berpura-pura mencitai Risa. Aku tidak mencintainya. Yang aku cintai kamu. Bukan Risa. Aku yakin kamu juga merasakan hal yang sama. Tapi mengapa kamu terus menyuruhku mencintainya karena semata-mata kamu takut mengecewakannya tanpa kamu peduli sebenarnya bukan hanya kamu yang terluka, tapi aku juga.”
Aku terdiam.  Bibirku terkunci.
“Risa sudah tahu semuanya. Dan kurasa ia lebih baik tahu sekarang. Sebelum ia semakin mencintaiku dan ini akan semakin menyakitkan baginya.”
Aku tercekat. Tenggorokanku tiba-tiba terasa sakit. Mataku memanas. “Risa tahu? Pliiss Din. Kembalilah Ke Risa...
“Cukup,Sha. Risa sudah cukup dewasa untuk bisa mengikhlaskannya. IA sadar perasaan tak bisa dipaksakan. Sekarang kenapa kamu masih seakan tak mengerti hal itu?”
Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam tanpa bisa kujawab pertanyaan yang ia lontarkan. Pria itu masih menatapku termangu. Sesaat suasana hening.
Ia kemudian memegang lenganku. “Aku mencintaimu Sha. Sudah bisakah kamu mempercayainya? Bisakah kamu tidak munafikan semua cinta yang ada dihatimu?” Tatapan mata itu beursaha meyakinkanku.
Aku masih tak kunjung lepas dari diamku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Nafas dan lidahku sama-sama tercekat ketika cowok bermata hangat itu mendekatkan tubuhnya yang tak bisa ku elakan.
“Ini masalah perasaan yang Cuma bisa dirasakan oleh hati. Seharusnya kamu dapat merasakanya, Sha.” Cowok itu membisikan suaranya ketelingaku. Aku dapat mendengar deru naasnya dan merasakan pelukannya yang masih sama dengan yang semalam kurasakan.
Sesaat aku tersadar dan melepaskan tubuhku. “Ini gak seharusnya terjadi, Din. Cinta mu seharusnya mencintai Risa bukan aku.”
“Sudah berulang kali aku bicara padamu, Sha. Aku hanya mencintaimu. Selamanya Cuma kamu, Sha.  Cinta ini gak salah. Baiklah kalau kamu tak percaya. Aku akan membuktikannya. Dan aku yakin ini bukan cinta yang salah.”
Aku tak tahu apa yang barusan ia katakan. Sejak perkataannya tu sosoknya tak pernah lagi muncul. Aku gak pernah tahu bahwa kejadian saat itu adalah pertemuan terakhirku dengannya.  Ia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Amerika. Begitu yang ku dengar.
Dimana kamu,Din? Aku merindukanmu.

                                                                                                ***

                Tiga tahun kemudian.
Aku masih sibuk menatap layar monitor laptopnya.  Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sampai tak memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang memadati cafetaria itu.  Bahkan Aku tak menyadari sesosok pria yang datang tiba-tiba dan mengambil tempat duduk didepaku .
 Pria itu tak sedetikpun mengalihkan pandangannya dari sosok cantik yang saat ini duduk didepannya.
“Kamu masih sama kayak yang dulu, Sha.” Terkejut mendengar namaku disebut dengan suara yang tentu saja sangat kurindukan. Akupun menoleh kearahnya. Dino.
Pria itu memelukku. Tak pernah ku merasa sehangat ini semenjak kepergiannya yang meninggalkanku dalam sepi.  Aku benar-benar merindukannya.
“Aku Dino. Pria yang telah membuktikan bahwa cintanya tak pernah salah. Mohon diingat dalam ingatanmu, Sha.
Aku mengangguk pelan dan membisikan kata-kata yang sempat diucapkannya tiga tahun yang lalu. Kata-kata yang masih terekam jelas dalam memori ingatanku. “Aku Mencintaimu, Din. Maafkan aku.”

Dan seketika akupun tersadar dari kesalahanku. Cinta memang tak pernah salah dan tak bisa dipaksakan. Aku memang menyayangi sosok pria ini dalam hati kecilku, bahkan mencintainya. Dia memang berbeda. Karena itu aku menyebutnya cinta.

Senin, 31 Maret 2014

Mak Comblang HELPPPP!!!

“MISSION COMPLETE!”  Teriakan itu menghambur keluar dari bibir tipis Vania , gadis cantik berusia tujuh belas tahun, yang sedang berdiam diri didepan mesin ATM menatap saldo tabungannya. Matanya berbinar ceria bibirnya mencuat naik keatas.
“Lo dapat bayaran lagi?” tukas seorang gadis disebelahnya.
“ Iyalah. Orang gue udah nyelesaiin misi gue.” Gadis bermata kejora itu membanggakan dirinya. Ia kemudian menarik pintu dan keluar dari ATM bersama gadis yang tadi berada disebelahnya.
“Kali ini siapa lagi yang berhasil lo jodohin, Van?” Nada bicara gadis itu menunjukan ketakjuban sekaligus penasaran.
Vania tersenyum seperti mengingat sesuatu lalu setengah menahan tawa. “Gue jamin lo gak percaya, La.Gue barusan berhasil jodohin si Farman dengan si Nissa, terus gue juga berhasil jodohin Pak Hasan.”
Mata bulat Lala membelalak. Nyaris keluar. Mulutnya hampir membentuk sebuah huruf “O”. “Sumpah demi apa lo,Van? Kalau si Farman dan si Nissa,gue sih percaya-percaya aja. Tapi Pak Hasan?”
Oke mungkin ekspresi Lala sedikit berlebihan, tapi gak sepenuhnya kok. Pak Farman memang seseorang lelaki perjaka tua yang menjadi tetangga depan rumah Vania. Lelaki itu sudah berumur 40 tahun dan belum menikah. Mungkin kalau digambarkan lebih jelas Pak Hasan mirip banget sama lagu “ABG Tua”nya penyanyi dangdut, Fitri Karlina. Lala dan Vania sering menjadikan lelaki paruh baya itu sebagai bahan gosip mereka.
Vania memamerkan gigi-gigi putihnya seraya mengibaskan rambutnya, Ia berkata “Gue gitu loh. Apa yang gue gak bisa? Demi duit semuanya bisa. Dan gue seneng banget bisa berbinis dengan dia. Pembayarannya oke dan tepat waktu.”
Lala hanya bergidik geli memandang temannya yang matrenya sudah stadium empat. Vania memang bukan cewek biasa. Cewek satu ini selalu mempunyai prinsip “Money is everything”. Semuanya bisa dia jadikan duit. Ya meskipun begitu dia tidakk pernah melakukan sesuatu yang illegal dan haram kok. Sampai sekarang ia belum pernah terlibat kasus bandar narkoba atau semacamnya. Dan semoga tidak pernah.
Kenyataan Vania memang harus memegang prinsipnya. Vania semata-mata bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang bisa dibilang kurang mampu. Ia mempunyai tiga adik yang masih harus sekolah, sementara uang dari ayah dan ibunya hanya cukup untuk membiayai ia kuliah. Maka dari itu, ia memutuskan untuk membiayai kuliahnya sendiri demi kelangsungan sekolah adiknya yang hampir terancam. Untungnya Vania punya otak yang cerdas, sehinggga dengan beasiswa yang ia terima cukup meringankan bebannya.
                                    ***
Telepon berdering. Dari nomor tidak dikenal.
Buru-buru Vania meyambar ponselnya diatas ranjang dan melemparkan hanaduknya ke lantai. Jarinya menekan tombol hijau pada ponselnya. Telepon tersambung.
“Halo. Benar ini Biro Pencaharian Cinta?” Suara berat itu terdengar dari baik telpon.
“Iya benar. Ini saya Vania Leirisia yang punya Biro Pencaharian Cinta. Ada yang bisa dibantu? Ini bisa langsung datang kok ke alamat yang ada di selembarannya. Ditunggu ya. Tutup jam 8 malam.”
Telpon pun terputus.
                                                ***
Mobil Avanza hitam itu sudah hampir setengah jam berhenti di perkarangan rumah sederhana bercat hijau. Akhirnya pemilik mobil itu keluar dari mobilnya dan mengetuk pintu rumah. Seorang wanita paruh baya membukan pintu.
“Maaf cari siapa ya?”
“Bener ini rumahnya Vania Cha....” Cowok itu menggaruk-garuk rambutnya berusaha mengingat nama akhir gadis yang baru saja ia telepon  3 jam yang lalu.
“Ohh. Vanianya ada tuh didalam. Sebentar ya di panggilin.”
VANIAAA... Suara lengking itu terdengar hingga keatas kamar Vania. Gadis yang dipanggil namanyan itu pun segera melesat turun menemui asal suara.
“Iya ma.” Vania menampakkan dirinya. Dengan mukanya datar yang selalu menjadi ciri khasnya ,ia memperhatikan laki-laki yang sedang berdiri didepan pintu. Ternyata feeling  dia tepat. Pasiennya akan datang. Untung dia sudah menyiapkan segalanya
“Ini mbak Vania yang punya Biro....” Belum sempat si laki-laki itu menyelesaikan perkataannya, Vania menarik lengan laki-laki itu menuju keluar teras. Gadis itu lalu menyuruh laki-lai itu untuk duduk di teras depan selagi ia masuk dan berbicara dengan mamanya.
“Siapa, Van? Temen kamu ya? Ganteng banget anaknya, Dia tadi nanya biro apaan,Van?” Semburan pertanyaan dari Mamanya itu dijawab dengan singkat oleh Vania.
“Iya ma Dia mau nanya tugas. Mama istirahat aja. Nanti biar Vania aja yang buatin minuman. Palingan bentar lagi dia pulang.”
Wanita separuh baya itu hanya mengangguk sambil tersenyum samar lalu masuk ke bilik rumahnya. Seiring dengan kepergian wanita itu, Vania kembali menemui laki-laki tadi. Laki-laki itu sedang celingak-celinguk memperhatikan tiap sudut rumahnya yang sederhana. Vania berdeham dengan tujuan menarik perhatian laki-laki tersebut. Laki-laki itu menoleh ke arahnya. Vania sedikit kaget melihatnya. Wajah laki-laki itu  memang dapat dibilang high quality. Kulitnya putih. Ramutnya yang hitam dipotong model shaggy. Matanya sipit. Laki-laki itu mempunyai hidung yang mancung dan bibir yang tidak terlalu tipis. Sosok yang begitu oriental.
“Sorry tadi ada nyokap gue. Gue gak enak ngomongin bisnis biro ini depan dia.Oh iya gue Vania Chandra, sesuai yang sudah kamu liat di brosur. Gue yang punya Biro ini. Ada yang bisa gue bantu?”
“Oh. Marcel. Gue butuh bantuan lo...
Perkataan laki-laki itu kembali disela oleh  Vania. Gadis berkulit kuning langsat itu mengambil satu lembar kertas dari map yang dia pegang lalu menyerahkannya ke laki-laki itu.
BIRO PENCAHARIAN CINTA
Melayani Apapun Problem Percintaan anda
1.      Membutuhkan pasangan
a.       Balikan dengan mantan                    Rp.500000
b.      Mencari cewek baru                         Rp 350000 (bisa nambah)
2.      Curhat tentang pacar                            Rp 50000 (solusi 100000)
3.      Usaha untuk move on                            Rp 400000
      Biro Pencaharian Cinta akan membantu anda menyelesaikan perkara ciinta anda dan membuat hubungan anda semakin lengket. No Patah hati! No Galau. GAGAL UANG AKAN KEMBALI 100%.
            Laki-laki itu tersenyum membacanya. Lesung pipinya yang dari tadi tak nampak, muncul dan memperkuat pesona si laki-laki tersbut sebagai prince charming. Oke, Buktinya Vania sempat tak berkedip beberapa detik melihat semburat senyum laki-laki itu. Demi Tuhan, dia eye- catching banget.
            Laki-laki tersebut mengeluarkan lembaran uang seratus ribuan dari dompetnya. Ia memegang uang itu dan memperlihatkannya kepada Vania. Otomatis, Vania langsung sadar dari lamunannya.
            “Gue bayar 1000000. Asal lo bisa jodohin gue sama mantan gue lagi.”
            “Setuju deh.” Bukan Vania kalau matanya gak hijau setiap ngeliat duit. Terang saja Vania langsung merampas uang yang ada di depannya. Namun laki-laki bertindak lebih cepat dari tangannya Vania. Ia mengambil kembali uangnya.
            “Gue akan ngasih duit itu dengan syarat. Kalau lo gak berhasil bikin gue balikan sama dia. Lo harus ngembaliin duit gue dua kali lipat.” Ujar cowok itu mantap.
            Tanpa berpikir dua kali, Vania mengangguk tak kalah mantap. Vania benar-benar yakin ini rejeki baginya. Lagian mana mungkin dia gagal. Sudah tiga tahun menjadi mak comblang, belum pernah ada sejarah kegagalannya mencomblangi pasiennya.
                                                            ***
            Sudah sebulan dari hari itu Vania semakin rajin menjalankan tugasnya. Dari mulai mengobservasi cewek itu. Mengintrogasi si laki-laki mengapa bisa putus. Dan kini dia mendapat kesimpulan dan sekaligus cara untuk membuat Marcel bisa jadian kembali dengan ceweknya. Marcel menceritakan semuanya tanpa ada yang ia tutupi dari Vania. Sebulan itu mereka habiskan bersama untuk sekedar mengorek informasi cewek itu. Mereka jadi sering ngbrol akrab disebuah kafe atau bertemu di rumah Vania. Mereka lebih sering terlihat berdua.
            Hari ini Vania berpikir untuk menjalankan strateginya mempertemukan Marcel dengan ceweknya secara tidak sengaja. Vania sudah mengatur skenario yang pas dan tempat mana yang akan menjadi lokasi mereka. Mereka pun segera meluncur kesana. Tidak sia-sia Vania menghabiskan waktu utnuk mengetahui dimana saja temat cewek itu nongkrong. Sesuai dengan perkiraannnya. Cewek itu tepat berada di kafe Del Amore jam 2 siang. Vania mengarahkan apa yang harus dilakukan Marcel. Dan Marcel menurutinya.  Baru satu dua dialog yang Marcel lontarkan lantaran berbasi-basi, Si cewek sudah mulai ngerespon. Vania yakin banget kalau cewek itu masih punya rasa ke Marcel. Dan misinya sudah mulai menemukan titik terang.
            Strateginya berhasil. Marcel bersama ceweknya sudah dekat kembali. Tapi entah mengapa jauh dalam hatinya Vania ia tidak mengingkan itu semua terjadi. Vania beribu kali berpikir menggunakan logika sehatnya untuk menolak, tapi tetap saja tidak bisa. Keinginannya terpaksa harus dia hempaskan ke barisan arakan awan.
            Vania tidak tahu apa yang terjadi dengan dia. Dia harus secepatnya menyelesaikan misinya agar ia tidak menganti rugi uang itu karena uang satu juta tersebut sudah ia habiskan untuk membiayai uang semesteran dia di kampus. Pikiran Vania pun menajdi kacau. Wajah Marcel mulai terlintas diotaknya. Kebersamaannya dengan Marcel membuatnya merasa sangat nyaman. Ada rasa yang tak bisa ia ungkap saat melihat Marcel berdua dengan wanitanya. Sakit yang teramat sangat. Ia merasakan hatinya tercabik-cabik. Suara berat Marcel yang selalu menelponnya tiap malam selalu ia rindukan. Apa ini? Apakah seorang Vania Chandra, si Mak comblang jatuh cinta pertama kalinya? Karena sejujurnya si Mak comblang yang selalu berurusan dengan cinta ini belum pernah jatuh cinta. Ia sebenarnya tidak mengerti apa itu cinta dan bagaimana rasanya jatuh cinta.
            Berulang kali Vania menentang kata hatinya. Tidak. Ia tidak boleh seperti ini. Hubungan ia dan Marcel hanya sebatas Klien saja. Ia harus dengan sesegra mungkin menyelesaikan tugasnya. Sebelum perasaannya tumbuh pesat. Ini sudah melanggar kode etik mak comblang. Seorang mak comblang tidak boleh perasaan cinta dengan kliennya. Vania harus melupakan semua perasaannya.
                                                ***
            “Besok sudah genap tiga bulan. Dan tugas lo sudah selesai. Thanks ya, Van.” Suara khas Marcel menyapa telinganya begitu lembut. Vania hanya bisa mengangguk lemah. Tak tahu apa yang harus ia katakan. Sesaat suasana hening. Dan akhirnya Vania memecahkan keheningan itu.
            “Besok lo harus nembak dia karena lo udah sering latihan didepan gue jadi guue yakin lo pasti diterima. Selamat ya, Cel.”
            “Lo ini, Van. Gue belum diterima lo udah ngucapin selamat. Mana tahu gue ditolak. Seandainya orang yang gue tembak itu lo. Mungkin gak lo nerima gue kayak kemarin-kemarin?” Tanya Marcel. Matanya menatap serius ke Vania. Vania berusaha menunduk dan terdiam. Oh God tak tahukan kalau hal yang dilakukan cowok itu bisa membuat semua pertahanan Vania runtuh seketika. Marcel kembali melanjutkan perkataannya yang sedari tadi belum dijawab Vania.
            “Lo ini cewek yang unik, Van. Lo beda dari cewek yang laen. Lo itu mandiri, ya meski terkadang rada nyebelin. Lo itu manis kok sebenernya, meski kadangan kebanyakan....
            “Cel, Pulang yu!” Vania menarik tangan Marcel. Ia masih tidak mau menatap mata cowok itu.
            “Lo kenapa, Van? Saa.... Marcel berhenti berkata-kata. Ia benar-benar tak bisa berkata-kata lagi. Pelukan dari Vania seakan mengunci mulutnya untuk berbicara. IA hanya bisa terdiam dan merasakan tetesan air mata yang jatuh membasahai kemejanya.
            “Sorry, Cel. Gue gak apa-apa. Yuk pulang!” Dengan cepat Vania tersadar dana melepaskan pelukannya dari Marcel.

            Itu terakhir kalinya Vania bertemu dengan Marcel. Vania tidak ingin bertemu dengannya lagi. Apalagi melihatnya menembak cewek itu. Hatinya pasti akan sakit. Sudah cukup ia melukai hati dan perasaannya sendiri. Lagian kontrak kerja Vania dan Marcel juga sudah selesai. Vania yakin seratus persen sekarang Marcel dan ceweknya itu sudah bahagia.
            “VANIAAAA.....
            Suara Ibu Vania terdengar dari bawah memanggil Vania turun.
Hari ini Vania tampak cantik dengan gaun yang dikenakannya. Rambutnya yang  biasanya dikuncir satu, kini terurai indah. Gaun kuning yang ia kenakan nampak sewarna dan cocok sekali dengan sepatu yang ia gunakan. IA benar-benar bak bidadari.
            “Iya ma, Vania sudah siap.”
            Mobil Avanza itu melaju cepat. 15 menit kemudian Vania dan keluarganya sudah sampai disebuah restaurant mewah.
            “Sebenarnya kita mau ngapain sih, MA? Mau makan disini? Kan mahal, Ma. Emang mama punya duit?” Vania semakin penasaran lantaran pertanyaan bertubi—tubinya tidak dijawab sang Mama. Wanita setengah baya itu hanya tersenyum kepada anaknya.
            Vania mengikuti mama dan papanya dan melangkah masuk ke restaurant. Mama dan papanya berhneti dan mengambil tempat duduk disebuah meja. Mereka kemudian disambut dengan pria setengah baya. Dari wajahnya, Vania dapat menerka bahwa pria tersebut seumuran dengan Papanya.
            “Ohh ini Vania. Sekarang sudah besar ya. Cantik lagi.” Pria itu tersenyum kearah Vania. Lalu memanggil seseorang. Marcel. Itu nama yang ia panggil. Apakah Vania tidak salah mendengar? Atau jangan-jangan bukan hanya otaknya dan hatinya saja yng sudah rusak karena Marcel, tapi hatinya juga?
 ‘Ini apaan sih? Aduh Vania yang namanya Marcel itu kan banyak’.  Gerutunya dalam hati.
            Laki-laki yang barusan dipanggil namanya itu datang. Laki-laki itu mengenakan kemeja hitam dan celana jins hitam . Ia lalu menuju ketempat duduk disebelah pria setengah baya itu. Vania masih terlalu memperhatikan laki-laki yang baru datang itu. Sekarang otaknya mereview kembali kejadian-kejadian =nya bersama Marcel. Ia sibuk meluruskan otaknya.
            “Marcel, ini kenalin. Dia Vania. Anaknya Om Surya yang sering papa ceritain kekamu. Vania ini kenalin. Dia Marcel, anak Om.”
            Laki-laki itu mengulurkan tangannya dan Vania membalas uluran tangan laki-laki tersebut. Sesaat keduanya saling menatap dan sama-sama terkejut.
            “Lo?” Teriak mereka berbarenngan.
            “Kalian sudah saling kenal rupanya?” Kali ini pertanyaan itu keluar serempak dari papanya Vania, mamanya Vania, dan Papanya Marcel sendiri.
            “Kalau papa mau jodohin Marcel sama dia. Marcel mau banget, Pa.” Ucapan spontan Marcel itu kontan membua pipi Vania bersemu merah. Dan malam ini Marcel yakin bahwa mak comblangnya itu sudah berubah menjadi sosok bidadari yang ia nantikan dalam percintaannya.
                                                            ***
            Malam ini langit sangat indah. Tak kalah indahnya, pemandangan di bumi malam ini jauh lebih indah.Sepasang kekasih sedang bercanda mesra dan membuat seakan jagat raya cemburu menyaksikannya.
            “Cel, Aku boleh nanya?” Gadis itu menyandarkan kepalanya ke dada bidang milik laki-laki yang saat ini duduk persis disampinga.
            “Tanya aja. Kamu mau nanya apa?” Laki-laki itu menatap cewek itu lekat seraya mengusap lembut rambutnya.
            “Kenapa waktu itu lo gak jadian sama Cecil? Lo gak mungkin ditolak kan?” Vania memutarkan bola matanya membalas tatapan laki-laki itu.
            “Gak kok.” Bibir Marcel mencuat naik. Marcel tersenyum. Masih senyum yang sama yang selalu bikin jantung Vania berhenti berdetak.
            “Terus?” Tanya Vania lagi. Ia berusaha menahan napasnya yang sesak karena sekarang jantungnya berdegup tak keruan. Oh My God kenapa laki-laki ini begitu manis? Runtuknya dalam hati.
            “Ya karena sejak peristiwa malem itu. Pikiran aku dipenuhin dengan kamu, Van. Pada akhirnya aku sadar, kalau aku sudah jatuh cinta sama mak comblangku sendiri.” Perkataan laki-laki itu seakan menyedot seluruh energi Vania. Lidah Vania berubah menjadi kelu.
            Lalu perlhan wajah mereka menjadi semakin dekat. Si gadis memejamkan matanya. Tidak ada yang bergerak mundur. Tidak ada yang menarik diri. Kedua bibir itupun bertemu. Kecupan Marcel begitu lembut mendarat pas dibibir Vania.

           


Ini Biodata Saya


·         Nama lengkap   ==> Agnesty Irenciu
·         Nama pena       ==> Nesty
·         TTL                  ==> 13 Agustus 1996
·         Alamat              ==> Jalan Kartini gang Warnasari no 40
·         E-mail               ==> Agnesty96icuu@gmail.com
·         No. HP             ==> 081379763777
·         Akun FB          ==> Agnesty Irenciu

·         Profil singkat ==>  Saya adalah pribadi yang ingin terus mengembangkan karya saya. Menulis dan tetap belajar.