Total Tayangan Halaman

Senin, 05 Mei 2014

Kamu dan Aku dalam Rintik Hujan

             Hujan rintik-rintik kala itu menaungi kota Jakarta. Senja hari yang disinggahi hujan membuat Risa mempercepat langkahnya dan segera berteduh. Risa memeluk tubuhnya yang mendingin karena terguyur rintik hujan sambil mengadahkan kepala agar bisa menatap hujan dan awan yang mendung. Risa terlalu asyik menatap bunyi tetesan air hujan yang terdengar lembut  hingga tak menyadari kehadiran seorang pria yang membuatnya tidak sendirian lagi berteduh diitempat itu. Pria itu berambut lurus hitam yang dipotng model shaggy. Rambutnya sedikit basah dan berantakan karena terguyur air hujan.
          Jalanan di dekat sana memang agak  sepi. Sedikit sekali mobil bis yang lewat. Sedari tadi menunggu, Risa masih belum mendapati bis yang ia cari dan masih berteduh disana. Sesekali ia mencuri pandang kearah pria itu, pria yang sedari tadi berteduh disana juga sambil memeluk tubuhnya yang kedinginan. Risa tersenyum setelah melihat ke ujung jalan. Beruntung sekali dirinya, karena biasanya bis jarang sekali lewat di jalan kecil ini. Hanya beberapa dan pada waktu tertentu saja. Ia segera memberhentikan bis tersebut dan masuk kedalamnya. Pria itu menyusul dibelakang. Rupanya pria tersebut dari tadi juga menunggu bis yang jurusannya sama dengan Risa.
           Tempat duduk hanya tersisa dua lagi. Risa buru-buru menduduki kursi kosong yang tersisa.
          "Kamu mau ke Tanah Abang juga?" Suara berat itu berasal dari sebelah Risa. Suara itu membuat Risa menoleh keasal suara. Ternyata pria itu. Pria yang menunggu dihalte tadi bersamanya.
           "Iya." Ucap Risa.
            Percakapan itu begitu singkat, namun wajah dan suara pria itu ada disaringan otaknya. Sejak hari itu. Pria itu menjadi sosok yang tak pernah terlepas diingatannya.
                                                                ***
            Untuk kedua kalinya, Risa kembali menggerutu lagi. Ia lupa membawa payung kecil yang biasa ia masukan ke dalam tasnya. Kali ini di jalanan itu lagi. Senja dan hujan ini membawa ingatannya ke sosok pria itu lagi. Ia sibuk menatap hujan dengan pikirannya.
             Setelah setengah jam menunggu, bis itu belum tiba dan hujan masih juga belum reda.
              'Ya Tuhan gimana bisa pulang?' keluhnya.
             Derap langkah itu terdengar semakin dekat. Risa yang dari tadi mengeluh ditengah kesendiriannya tiba-tiba berhenti. Ia tercengang melihat sosok yang datang itu. Sosok itu sudah tepat berdiri sejajar disampingnya. Tanpa banyak basa-basi, pria itu menyodorkan payung kearah Risa.
                "Mau nyari halte bis ke Tanah abang kan?" Ucap cowok itu dengan sura tipis.
                Risa tak segera menjawab. Perasaannya masih tak keruan. Merasa diabaikan pria itu mengulangi ucapannya lagi. "Mau bareng?"
              RIsa segera membuka mulutnya dan menjawab "boleh" sambil mengangguk malu-malu.
                Mereka berjalan lambat-lambat dan merapat. Tak ingin melihat cowok itu memegang gagang payung sendirian, tangan mungil Risa meraih gagang payung tersebut. Tangan mereka bersentuhan dan pada saat yang sama mata mereka bertemu pada satu titik. Terlihat seulas senyum samar diwajah mereka masih-masing. Hening.
            Sang waktu yang bekerja kemudian dengan ajaibnya mengubah keheningan diantara mereka menjadi sebuah percakapan manis. Percakapan yang lebih panjang dari percakapan awal mereka. Selama bicara, sungguh Risa tak kuasa menatap mata itu. Mata pria yang barusan bertemu dengan matanya itu membuat sensasi perasaan yang berbeda yang menyusup kehatinya. Perasaan yang tak tahu harus ia namakan apa.
                                                        ***
             "Kamu mau kemana, ndra?" Tanya Risa penasaran.
             "Kesuatu tempat. Udah ikut aja."  Risa hanya menurut . Dan hanya mampu menahan napas ketika ia memakaikan sebuah helm putih di kepalaku. Menyuruhnya  naik di belakangdan...berpegangan padanya. Hal yang biasa ia lakukan, memeluk sosok didepannya itu dan melalui jalan sepanjang apapun dengan motor vixion hitam yang saat ini mereka naiki.
          Hujan. Hari itu hujan. Risa  ingat betul. Karena sekarang, setiap hujan turun, sekelebat kepingan kenangan itu muncul ke permukaan pikirannya. Selalu berhasil membuatnya tersenyum tipis. Motor itu tetap berjalan ditengah rintik hujan dan membiarkan hujan membasahi tubuh mereka.
         Tepat disatu jalan kecil mereka berhenti dan berteduh.
        "Kamu masih ingat tempat ini?"  Tanya Andra.
        Risa hanya tersenyum lebar. Tatapannya mengaarah ke arah coretan disebuah pohon besar disampingny. 'AR' begitulah coretan yang terukir dibatang pohon besar itu.
        "Happy Annivesary sayang" Bisik Andra pelan ketelinga Risa seakan takut suaranya dikalahkan dengan derasnya hujan kala itu. Risa masih terus memandangi ANdra dengan perasaan senangnya. Sunnguh indah. Semua begitu manis. Pria ini membuatnya benar-benar merakan manisnya cinta. Mereka saling bertatapan sebelum akhirnya RIsa memejamkan kedua matanya ketika Andra mengecup lembut keningnya.
           "Makasih ya, sayang. Happy annivesary one year,dear. Hope we will be forever." Bisikku padanya.
              "Sekarang dan mudah-mudahan selamanya, aku akan mencintaimu, Ris." KAta-kata itu selalu diingat RIsa. Kata-kata sederhana, bukan sebuah janji yang terkadang hanya sekedar diucapkan oleh kebanyakan orang, namun kata-kata itu bermakna lebih dari itu.
             "Pulang yuk, Ris. Ntar kebanyakan ujan-ujanan kamu sakit lagi."
             Andra kemudian memegang pergelangan tangan RIsa. Mereka kembali menaiki motor itu dan berjalan pulang.
                                                             
              Tiga tahun kemudian....

             "Tapi kenapa secepat itu sih, ndra?" Risa masih terus-terus bertanya mengenai keputusan Andra yang membuatnya heran sekaligus kecewa. RIsa tahu ini begitu egois, tapi pertanyaan terbesarnya disini adalah perempuan mana yang senang saat pacarnya memutuskan untuk meninggalkan mereka? 
               "Aku dipindahtugaskan kesana, Ris. Gak lama kok, hanya 1 tahun. Aku janji sehabis aku pulang dari Medan. Kita akan menikah. 
                "Aku gak masalahin tentang pernikahan. Aku hanya takut." Mata RIsa tiba-tiba terasa perih. Air mata yang tertahan kini terpaksa keluar. 
                "Aku kan udah pernah bilang, Ris. Aku gak suka ngelihat kamu nangis. Udahlah sayang." Tangan-tangan Andra meraih pipi mulus Risa dan mengusap lembut bulir air mata yang berjatuhan dipipinya.
                "aku takut kehilangan kamu,ndra." Ucap Risa lirih
                "Aku gak akan meninggalkan kamu, RIs. Aku janji. Ini cuma sementara." ANdra memegang lengan Risa dan menatapnya penuh dengan keyakinan.
                "Kamu tahu kan? Hubungan LDR itu gak akan bertahan lama. Aku gak mau kita LDR'an." 
                "Ris, Ini cuma masalah jarak dan waktu. Percaya sama aku dua hal itu dan akan mungkin jadi pemisah kita saat kita benar-benar saling cinta, ris."
    Pada akhirnya Risa hanya mengangguk lemah. Ia benar-benar ikhlas merelakan pria yang sudah tiga tahun bersamanya ini harus pergi. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hari yang akan ia lalui tanpa pria itu. Berulang kali ia meyakinkan dirinya bahwa ini hanya unuk sementara. Ia berusaha berpikir kalau ini hanya sebuah cobaan kecil yang harus ia lalui supaya ia bisa hidup dengan Andra selamanya. Ia yakin Andra begitu mencintainya dan tidak akan mungkin mengakhiri hubungan mereka.
      "Aku pulang ya, Ris. Udah malem. Lagian kamu harus banyak istirahat. Gak usah banyak pikiran ya, Ris. Percaya ya sayang. Kita akan baik-baik saja." Dinopun pergi meninggalkan Risa yang duduk terdiam diruangan tamu itu. Ia menatap punggung cowok itu yang kemudian menghilang. Tangis Risa pecah. PErasaan dalam hatinya kini keluar semua. Sesak. Itulah yang sedari tdi ia rasakan. Risa merasa akan kehilangan sosok ANdra untuk selamanya
                                                     ***
                                    
Hari ini hujan. Andra meninggal. Risa membiarkan air matanya tumpah ditengah derasnya hujan. Saat itu juga alam semesta seperti mersakan luka dihati Risa. Luka yang menganga lebar di hatinya. Seluruh hatinya seakan ikut terkubur bersama sosok cowok itu. Miris. Itu satu-satunya kata yang tepat untuk menggambarkan hidupnya. Mengapa begitu cepat Tuhan mengambil sosok Andra yang baru saja ia lihat. Ia benar-benar tidak menyangka malam iitu akan menjadi hari terkahirnya untuk melihat Andra. Andra benar-benar pergi, bukan pergi ke Medan untuk sementara, tapi ke surga untuk selamanya.  Miris. Itu kata-kata yang tepat baginya. Ia benar-benar tak bisa menyangka kecelakaan maut itu bisa terjadi. Semua ini bagaikan mimpi  buruk. Terutama saat-saat dimana Andra mengucapkan namanyanya dan berkata 'love u' didetik nafas terakhirnya. Ia belum bisa merelakan sosok pria yang sangat berharga dalam hidupnya itu pergi selamanya.
                                                  *** 
Gadis itu menaruh seikat bunga yang ia rangkai sendiri dan meletakannya dibawah batu nisan putih yang bertuliskan nama "Andra Irawan". Ia menatap rintik hujan yang membasahi gundukan tanah yang tertancap batu nisan . Hujan seakan mempunyai arti tersendiri baginya. Hujan sebagai pembawa kerinduannya sekaligus airmatanya. Hujan adalah saat dimana ia harus merasakan sebuah kehilangan. Tak terhitung sebanyak apa airmatanya yang telah menetes bersamaan dengan tetesan air hujan. Selalu saja, hujan mengingatkannya kepada sebuah cerita. Cerita yang kini menjadi kenangan baginya. Kenangan bersama seorang pria yang sederhana, sesederhana cintanya pada pria tersebut. Bukankah cinta itu adalah satu hal sederhana karena itu ia terlalu rumit untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Pria itu mengajarinya banyak hal, tertawa saat hujan, menangis saat hujan, dan satu hal terpenting yang pria itu ajari adalah mencintai seperti hujan yang akan sealu ada untuk membasahi bumi karena ia tak ingin bumi kekeringan, bahkan hujan selalu meninggalkan keindahan untuk bumi sesaat setelah ia pergi. 
Hujan kali ini sangat deras sekali sederas rindu yang melanda hati Risa.
"Happy annivesary 4 tahun sayang. I miss you so much." 


               
          
              
      
         

Jumat, 02 Mei 2014

It's (not) Love for Me and You

                Aku menatap matanya dalam diamku. Memperhatikan tiap lekuk bibirnya yang berbicara.  Suara beratnya itu sudah beberapa hari ini ku rindukan. Matanya yang sipit, kulitnya yang putih dan senyumnya yang selalu tersirat dibibir tipisnya itu membuatku memandang sosoknya dengan perasaan berbeda. Aku tahu kita hanya teman. Tapi mengapa terkadang aku merasa diantara kita lebih dari sekedar teman.
               William menatapku lekat-lekat sambil mengayunkan tangannya kehadapanku. "Nes, jadi gak kita hari ini karokean? Nanti gue ngajakin Garret, terus lo ngajakin Septa."
               "Liat nanti,ya. Septa itu orangnya mood-mood'an. Nanti gue usahain."
               "Payah si Septa mah. Padahal SWAG kan udah lama gak ngumpul."
Begitu ucapnya ringan. AKu tahu sebenarnya itu hanya salah satu alasannya saja untuk menutupi gengsinya yang bilang kalau ia sedang bosan di kost melulu sebulanan ini. Alasan yang bagus dengan membawa nama SWAG. SWAG nama kelompok kami yang beranggotakan Septa, William, Agnes dan Garret. Ya benar sebenarnya SWAG itu nama singkat kita berempat saja.
               Aku tersenyum kecil " Bilang aja lo bosen di kost, Wil. Ya udah ntar gue jadiin lah. Eh gue balik kelas dulu, Ya?" Akupun membalikan badanku dan hendak melangkah pergi. Namun tangan-tangan besar itu menggengam erat lenganku. Akupun terpaksa berbalik lagi. Dan kita pun bertatapan cukup lama sebelum ia melepaskan tangannya dan berkata "Jangan lupa, Ya."
                                                                          ***
              Dan dia menatapku seperti itu lagi. Tatapan mata yang membuat aku selalu merasa nyaman disana. Meski aku tak tahu apakah itu tulus dan berati cinta? Demi Tuhan. Aku berulang kali menepis perasaan ini. Sebenarnya sudah dari seminggu yang lalu aku merasa ada perasaan aneh yang terjadi saat aku dekat dengan William. Berulang kali aku menyadarkan diriku dalam mimpi. Aku sama William itu sahabatan 2 tahun. Aku pasti sudah benar-benar gila kalau sekarang aku menyukainya.
           Otakku melayang kesana-sini dan aku sedari tadi hanya diam, tidka bernyanyi. Bahkan memilih lagu saja tidak kulakukan. Dan sekarang ruangan karokean ini sedang bersuarakan nyanyian "Pelangi dimatamu" Jambrud. Aku mendengarnya. Suara berat William menyanyikan lagu itu.Tanpa sadar suaranya menarik hasratku untuk melempar tatap kearahnya. Ia membalas tatapan ku. Lagi-lagi aku menemukan tatapan itu lagi. Tatapan yang membuatku berhenti berkutik dan hanya bersembunyi dalam kebisuan.
              "Ada yang lain disenyummu yang membuat lidahku gugup tak bergerak .Ada pelangi dibola matamu yang memaksa diriku. Tuk bilang Aku sayang padamu."  William bergerak memegang tanganku dan berjongkok dihadapanku. Membuat aku sedikit terkejut sekalipun kikuk. Kalaupun ini hanya candaan atau gurauan darinya. Ini benar-benar tidak lucu. Tapi terlalu so sweet. Pada akhirnya Garret dan Septa segera mengabadikan adegan "Sok Romantis" ini didalam handphonenya. Demi seluruh alam jagad raya napasku saat ini benar-benar tercekat. Tingkahnya yang semingguan ini selalu begitu romantis dimataku membuatku semakin merasakan tak keruan. Harusnya aku sadar kini aku mulai mencintainya.

              Semenjak peristiwa romantisme dikaroke itu hubungan aku dan William semakin dekat. Kami sering berdua. Ngobrol berdua, kekantin berdua, jalan berdua. Sampai kami dinner berdua di kafe itu. Kafe yang sampai sekarang membuat aku selalu teringat sosok dari laki-llaki itu.
               Hari ini setelah dinner yang menurutku tidak jauh dari kata romantis itu berakhir. Malamnya aku berpikir seharian. Aku melakukan kebiasaan kecilku. Menatap langit sambil memandang keindahan Sang Luna dari teras kost aku. Wajah itu muncul lagi. Sudah sangat sering wajah cowok itu muncul dimimpiku, di lamunanku, dan sekarang dimalamku. Kali ini aku sudah benar-benar gila. Ya, aku Gila karena aku telah mencintaimu.
               DRTTEETTTEERRTTT
               Suara getar hapeku terdengar. Akupun mengangkat panggilan masuk di hapeku
               "Halo?"
               " Halo." Suara beratmu terdengar diujung telepon. Aku benar-benar sudah hapal sura itu.
               "Kenapa,WIl?" Tanyaku senang sekaligus penasaran.
               "Lagi sibuk?" Ia balik bertanya.
               "Gak, kenapa?" 
               "Lagi ngapain?" 
               "Bernapas." Jawabku bohong. Sebenarnya justru saat ini aku merasa bernapas adalah hal yang paling susah untuk dilakukan. Diujung telepon terdengar tawa renyahnya.
               Pembicaraan melalui telpon itu terjadi selama 6 jam. Aku juga gak tahu apa yang menyebakan pembicaraan kami sangat lama. Tanpa kami sadari waktu sudah menunjukan pukul tiga subuh. KAlau saja aku tidak mengingat besok tidak libur, mungkin saat ini teleponan itu masih berlanjut. DIa bercerita banyak. Dia bercerita tentang mantan kekasihnya dan semua gadis-gadis yang dia incar. Aku bisa merasakan perasaan yang  ia rasakan. Aku merasa benar-benar percaya dengan semuanya dan benar-benar telah mengerti bahwa  dia hanya butuh seseorang wanita yang mengerti dirinya Sebenarnya, aku sudah memberi perhatian itu tanpa dia ketahui. Mungkinkah perhatianku yang sering kuberikan tak benar-benar terasa ? 
           Ternyata telepon semalam itu bukan telepon yang terakhir. MAsih ada bunyi getar darinya setiap malam. Aku selalu mendengar ceritanya lagi. Hatiku bertanya-tanya, seorang pria hanya menceritakan perasaannya pada wanita yang dianggap dekat.Aku bergejolak dan menaruh harap. Apakah dia sudah menganggap aku sebagai wanita spesial meskipun kita tak memiliki status dan kejelasan? Senyumku mengembang dalam diam, segalanya tetap berjalan begitu saja, tanpa kusadari bahwa cinta mulai menyeretku ke arah yang mungkin saja tak kuinginkan.
                                                               ***
           "Nes, Willliam sakit." Suara Lia membuatku berhenti mengunyah roti isi yang baru saja aku beli dari kantin. Wajah Septa benaran serius, tak ada garis-garis yang meunjukan keluar dari sedang bercanda. Lagipula, Septa memang teman sekelasnya William. Akupun percaya kepadanya dan berjalan kekelasnya melihat kondisi William. 
          Disana cowok itu sedang duduk dengan kepalanya yang diletakan diatas meja. Wajah putihnya  kini terlihat pucat pasi.    
           "Ini gara-gara nelepon cewek sampe jam 3 subuh." Ucap Garret. Aku tahu itu menyindirku. Namun aku menggubrisnya. Aku malah dengan reflek mengarahkan tanganku kedahinya.
          "Minum obat. Pulang ntra istirahat ya." Ucapku singkat.
                                                              ***
            Aku kembali menekan keypad blackberryku dan mencari contact nama William kemudiuan mengetik pesan singkat yang berbunyi
           Minum obat terus Istirahat. Awas klo gak.
           Selang beberapa menit pesan singkatku dibalas. 
           Ciee yang perhatian
           Akupun membalasnya lagi.
           Pede mau mampus lo
           Diapun mengirimi balasannya. Ya udah kalau gak mau ngaku. Yang jelas sakit gue membawa berkah.
          Aku mengernyitkan dahiku saat membaca balasan darinya 
           Berkah apa? Begitulah balasan yang aku kirim
          Kali ini saat aku membuka handphone senyumku berkembang dengan sendirinya saat membaca Ada bidadari cantik yang megang dahi gue.
          semenjak itu kita berubah. Aku dan dia tidak pernah bertegursapa lagi ketika bertemu tatap muka. Hanya sesekali menatap dan tersenyum penuh arti. Ketika berbicara di telpon dan BBM, kita begitu bersemangat, aku bisa merasakan semangat itu melalui tulisan dan suaranya. Sungguh, aku masih tak percaya segalanya bisa berjalan secepat dan sekuat ini. Aku terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini bukan cinta. . Aku berusaha memercayai bahwa perhatiannya, candaannya, dan semua ucapannya adalah dasar nyata pertemanan kita. Ya, sebatas teman, aku tak berhak mengharapkan sesuatu yang lebih.
Nyatanya...Perasaanku tumbuh semakin pesat, bahkan tak lagi terkendalikan. Siapakah yang bisa mengendalikan perasaan? Siapakah yang bisa menebak perasaan cinta bisa jatuh pada orang yang tepat ataupun salah? Aku hanya manusaia biasa yang mempunyai hati. Sama aku juga butuh tempat sandaran hati. Hingga kau hadir dan membuat hatiku merasa nyaman. Namun aku hanya seorang wanita yang takut kehilangan sosok yang tak akan pernah dapat ku miliki. 
Hingga akhirnya kau berhasil meruntuhkannya. Semua tembok ketidakpercayaan itu runtuh seketika. Aku mempercayaimu. Aku terpaksa mengaku dan percaya ini cinta. Itulah kebodohanku. 
                                                  ***
Suara getar handphone ku terdengar lagi. Sepertinya teleponan setiap malam dengannya sudah menjadi jadwal rutinitas bagiku.
"Hi,nes. Lagi ngapain?" Suara beratnya terdengar parau.
"Lagi gak ngapa-ngapain. Kamu?" Barusan aku mengucapkan kata "kamu" karena sekarang kata aku, kamu dan sayang sering sekali meluncur di percakapan kita.
"Lagi mikir."
"Mikir apa?
"Rahasia."
" Seriusan apa? Temanya?" Tanyaku penasaran
"Mauunya? Ya udah deh. Temanya Percaya."
"Ihh maennya rahasia-rahasiaan sekarang. Mikirin gue kan ?" Ucapku becanda tapi berharap
"Keturunan mama loren ya? Gue lagi mikir gimana buat lo percaya." Nada suara William terdengar serius.
"Percaya apaan?" Tanyaku 
"Yang semalem." Ucapnya singkat. Ia berharap aku mengerti kode darinya.
"Yang mana? Tanyaku pura-pura tak mengerti.
"Aku serius aku sayang sama kamu, Nes.." Ucapnya lirih. 
"Aku juga serius. Pasti lo juga ngucapin hal ini sama Stella."
"Gue sukanya sama lo. Gue udah gak suka sama dia lagi. Kapan sih lo percaya? Gimmana cara gue biar lo percaya?"
Lidahku kelu dan aku tak tahu harus menjawab apa. Akhirnya lidah ini mengucapkan satu hal yang sampai sekarang aku sesali.  Aku benar-benar merasa menjadi wanita paling munafik yang ada.
"Jauhin gue. Jangan bersikap kayak gini lagi ke gue. Lo harusnya sama Stella. Lo sama dia cocok banget. Lo bohong kalau lo gak suka sama dia." Akupun menghela napas yang panjang setelah mengucapkan itu semua. Aku berusaha menahan air mataku dan konsistensi suaraku agar tidak terdengar serak karena mengangis.
"Kalau gue sama Stella. Lo bener-bener bahagia, Nes?" 
"Iya. Gue selalu bahagia lah kalau sahabta guue bahagia. Stella dan lo itu kan sahabat gue."
" Oh. Oke kalau kayak gitu" Ucapnya singkat. Sesaat suasana menjadi hening
"Wil, udah malam gue tidur dulu ya ngantuk." Itu alasan aku karena aku tak kuasa menahan tangis yang sebentar lagi mau meledak. 
Kliikk. Teleponpun berakhir. Dan airmataku mulai menganak sungai. Ak meraung-raung ditengah malam tak berbintang. Kini semua rasa berubah menjadi abu-abu.
Ketakutanku terjawab sudah. Sosokmu pergi tanpa pamit dan alasan. Dia mulai menjauh dan mendekati Stella. Sosoknya meninggalkan begitu banyak luka dan kenangan.. Menimbulkan bekas yang teramat besar dan membuat sebuah lubang yang amat besar didalam hati yang pernah ia terobos ini. 
Setiap hari aku bisa melihatnya. Sosok dia dari balik pintu kelas. Bayangan dia dan senyum dia bersama seorang cewek, bukan aku tentunya, tapi Stella. Semenjak aku dan kamu memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri dan menjauh karena pada akhirnya dialah tuan putri yang kau pilih. Aku terus bermain dengan dunia kesibukanku untuk meluapkan semua luka ini. Dan diantara semua kertas yang berserakan dan tumpukan buku-buku yang ku  pegang sebenarnya aku tetap meridukan hadirmu.Aku berjanji untuk tegar dan berpijak pada kenyataan bahwa lebih baik begini. KArena ini bukan salahmu, juga bukan salah dia. ungkin kita memang tidak ditakdirkan bersama karena tuan bukan yang terbaik untukku dan pun sebaliknya. Terima kasih tua atas segalany. Terima kashi atas cinta yang kau torehkan dan atas luka yang akhirnya nanti akan membuatku dewasa. Dan mungkin disaat itu tiba aku sudah bisa mengenangmu kembali dengan senyuman, bukan air mata. Aku belajar banyak. Mungkin memang terkadang Penyesalan dan Kehilangan selalu datang beriringan.