Aku masih terdiam menatap
langit-langit kelas membayangkan
kejadian malam itu. Kejadiaan yang masih terus menguntit otakku hingga
sekarang. Aku masih mengingat wajah cowo itu dengan jelas. Bahkan kehangatan
bibirnya yang menempel dibibirku masih dapat kurasakan. Malam itu kedua bibir
kami yang awlanya meragu itu bertemu. Dibawah langit malam dan sorot lampu
teras rumah ciuman itu tercipta dan bertahan sepersekian detik sebelum kami
berdua tersadar dan melepaskannya.
Wajah Dino sekarang
berputar-putar dalam otakku sesaat seketika ku mengingat peristiwa semalam. Wajahnya
yang putih berbentuk oval. Alisnya yang begitu tebal yang berada diatas mata
sipitnya. Mata yang selalu memancarkan ketenangan saat aku menatapnya.
Hidungnya yang mancung, Rahang dan dagunya terlihat sangat tegas. Sosok yang ku
bayangkkan itu kemudian hadir melewatiku dan menyadarkan aku dari lamunanku.
Cowok itu datang dan langsung menduduki bang paling belakang.
Mata kami sempat bertemu sesaat
sebelum ia melepaskan pandangan matanya dariku. Seakan-akan kejadian kemarin
malam itu bukan apa-apa. Muungkinkah cowok itu terlalu mudah melupakannya
karena ia senantiasa sering memlakukannya bersama cewek-ceweknya yang lain?
Mengapa aku berbanding terbalik dengannya? Sejak peristiwa semalam itu sosoknya
selalu melekat didalam pikiranku. Suara beratnya yang memanggil namaku,
jemarinya yang begitu besar yang memegang jemariku. Aku bahkan tidak bisa
melupakannya saat ia meraih tubuhku kedalam dekapannya yang begitu hangat.
Ya Tuhan! Keluhku dalam hati.
Mengapa dia sekarang seperti sosok yang tak aku kenal? Mengapa dia sekarang
berbeda? Bukankah dia sosok manis yang membuatku merasakan sentuhan
bibirnya?Apa semuanya yang terjadi tadi malam hanya unga tidurku? Mengapa
semuanya berubah hanya dalam hitungan jam. Sudahhla tak seharusnya aku
memperhatikan cowok yang sudah menjadi kekasih sahabatku sendiri. Kesalahanku
terlalu banyak semalam karena tidak dapat mengontrol diri sendiri.
Aku terperanjat. Otakku tak bisa
menangkap semua pelajaran yang diberikan saat itu Diam-diam mataku kembali sibuk menatap sosk itu dan membantah
semua larangan diotakku.Sialnya aku malah merindukan tatapannya yang biasa ia berikan kepadaku seperti kemarin. Aku
tak memperdulikan waktu yang semakin berjalan meninggalkan ku yang masih
terpaku menatapnya.
Aku begitu menikmati sosok
pandangan itu. Memperhatikan belahan bibirnya yang tadi malam kurasakan. Dia
masih pria yang sama yang menciumku dan membuat sensasi yang luar biasa hebat
hingga jantungku berdegup cepat. Namun sikapnya jauh berbeda. Aku tak mengenalinya.
Ia tidak memperhatikan aku sejauh aku memperhatikannya.
Pelajaran berakir. Aku merapikan
bukuku yang berserakan dimeja dan memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba jemari
besar memegang tanganku. Dan terdengar suara beratnya. “Sha?”
Demi Tuhan apakah otakku sedang
konslet atau apa. Mengapa aku mendengar suara beratnya lagi? Apakah aku sedang
mengigau? Ternyata semua nyata. Sosoknya sudah berdiri dibelakangku memegang
lenganku saat ku menoleh kebelakang.
Segera kulepaskan pegangannya “Apa?!”
Teriakku sinis.
“Kamu kenapa? Marah karena
kejadian kemarin?” Tanyanya masih dengan tatapan polos dan lugunya
“Bukan urusanmu. Urusi saja
urusanmu dengan pacarmu.”
“Oh ya? Benarkah? Haruskah aku
percaya pada laki-laki yang sudah mempunyai cewek dan seneng mempermainkan
perasaan orang?”
“Apakah sejak peristiwa kemarin
kau masih menganggapku mempermainkan perasaanmu? Aku sudah putus dengannya,
Sha. Aku tak mungkin berciuman dengan cewek disaat aku statusku masih
berpacaran dengan cewek lain. Aku bukan pria yang dengan mudahnya
berganti-ganti topeng dan bilang sayang
kesemua cewek.”
“Sayangnya aku gak percaya lagi. Sudah
cukup kebodohanku selama ini. Aku tahu selama ini aku hanya tempat pelarian
kamu saja kan? Yang kamu cintai dia bukan aku.”
“Kalau aku mencintainya aku. Tak
mungkin kejadian semalem itu terjadi. Demi Tuhan aku belum pernah mencium cewek
lain selain kamu.”Maaf.” Ucap pria itu lagi sambil setengah berbisik.
“Entahlah, Din. Seharusnya aku
marah. Aku tak tahu apa aku harus mempercayaimu atau tidak. Harusnya kejadian
semalem gak boleh terjadi. Kamu sudah memiliki...
“Sudah Ku bilang aku sudah putus
dengannnya. Aku sudah memutuskannya setelah aku memuutuskan untuk mencintaimu.
Aku sudah capek, Sha berpura-pura mencitai Risa. Aku tidak mencintainya. Yang
aku cintai kamu. Bukan Risa. Aku yakin kamu juga merasakan hal yang sama. Tapi
mengapa kamu terus menyuruhku mencintainya karena semata-mata kamu takut
mengecewakannya tanpa kamu peduli sebenarnya bukan hanya kamu yang terluka,
tapi aku juga.”
Aku terdiam. Bibirku terkunci.
“Risa sudah tahu semuanya. Dan
kurasa ia lebih baik tahu sekarang. Sebelum ia semakin mencintaiku dan ini akan
semakin menyakitkan baginya.”
Aku tercekat. Tenggorokanku
tiba-tiba terasa sakit. Mataku memanas. “Risa tahu? Pliiss Din. Kembalilah Ke
Risa...
“Cukup,Sha. Risa sudah cukup
dewasa untuk bisa mengikhlaskannya. IA sadar perasaan tak bisa dipaksakan.
Sekarang kenapa kamu masih seakan tak mengerti hal itu?”
Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam
tanpa bisa kujawab pertanyaan yang ia lontarkan. Pria itu masih menatapku
termangu. Sesaat suasana hening.
Ia kemudian memegang lenganku. “Aku
mencintaimu Sha. Sudah bisakah kamu mempercayainya? Bisakah kamu tidak
munafikan semua cinta yang ada dihatimu?” Tatapan mata itu beursaha
meyakinkanku.
Aku masih tak kunjung lepas dari
diamku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Nafas dan lidahku sama-sama tercekat
ketika cowok bermata hangat itu mendekatkan tubuhnya yang tak bisa ku elakan.
“Ini masalah perasaan yang Cuma bisa
dirasakan oleh hati. Seharusnya kamu dapat merasakanya, Sha.” Cowok itu
membisikan suaranya ketelingaku. Aku dapat mendengar deru naasnya dan merasakan
pelukannya yang masih sama dengan yang semalam kurasakan.
Sesaat aku tersadar dan
melepaskan tubuhku. “Ini gak seharusnya terjadi, Din. Cinta mu seharusnya
mencintai Risa bukan aku.”
“Sudah berulang kali aku bicara
padamu, Sha. Aku hanya mencintaimu. Selamanya Cuma kamu, Sha. Cinta ini gak salah. Baiklah kalau kamu tak
percaya. Aku akan membuktikannya. Dan aku yakin ini bukan cinta yang salah.”
Aku tak tahu apa yang barusan ia
katakan. Sejak perkataannya tu sosoknya tak pernah lagi muncul. Aku gak pernah
tahu bahwa kejadian saat itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Ia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke
Amerika. Begitu yang ku dengar.
Dimana kamu,Din? Aku merindukanmu.
***
Tiga tahun kemudian.
Aku masih sibuk menatap layar
monitor laptopnya. Aku terlalu sibuk
dengan pekerjaanku sampai tak memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang
memadati cafetaria itu. Bahkan Aku tak
menyadari sesosok pria yang datang tiba-tiba dan mengambil tempat duduk
didepaku .
Pria itu tak sedetikpun mengalihkan
pandangannya dari sosok cantik yang saat ini duduk didepannya.
“Kamu masih sama kayak yang dulu,
Sha.” Terkejut mendengar namaku disebut dengan suara yang tentu saja sangat
kurindukan. Akupun menoleh kearahnya. Dino.
Pria itu memelukku. Tak pernah ku
merasa sehangat ini semenjak kepergiannya yang meninggalkanku dalam sepi. Aku benar-benar merindukannya.
“Aku Dino. Pria yang telah
membuktikan bahwa cintanya tak pernah salah. Mohon diingat dalam ingatanmu,
Sha.
Aku mengangguk pelan dan
membisikan kata-kata yang sempat diucapkannya tiga tahun yang lalu. Kata-kata
yang masih terekam jelas dalam memori ingatanku. “Aku Mencintaimu, Din. Maafkan
aku.”
Dan seketika akupun tersadar dari
kesalahanku. Cinta memang tak pernah salah dan tak bisa dipaksakan. Aku memang
menyayangi sosok pria ini dalam hati kecilku, bahkan mencintainya. Dia memang
berbeda. Karena itu aku menyebutnya cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar